Otodidak, Seni Mengutak-atik Otak


Teman-teman pernah nyoba buat kue brownies? Itu lho Cake coklat yang digemari oleh semua kalangan. Ada satu teman yang bercerita sama saya bahwa dia dulu suka nyoba buat kue brownies. “kayaknya emang harus nyoba buat sendiri nih, kalau beli gak puas, 10 ringgit cuma dapat segini saja.” katanya sambil menunjukkan segenggam tangannya.

Maka, mulailah ia mencoba, browsing resep dan cara-caranya di google, membeli bahan, dan peralatan, dan jadilah kue brownies pertamanya. Apakah rasanya sama seperti kue brownies yang biasa dijual di bakery kesukaannya ? Tidak ! Apakah ia sedih ? Tentu sebagai manusia kan. Lalu, apakah ia menyerah ? Tidak ! Kawan saya tadi terus mencoba lagi dan lagi. Browsing video cara pembuatan brownies di You Tube. Melihatnya berkali-kali, Mencobanya berkali-kali. Fokus, ya itu kuncinya. Saat libur kerja, saat sebaian besar teman-teman memilih untuk jalan-jalan, shopping , atau tidur lebih lama (ha, yang ini aku banget kalau lagi liburan 😄), ia memilih untuk fokus belajar membuat brownies.

Tiga bulan berlalu, kami hampir tak pernah bertemu karena kesibukan kerja masing-masing dan karena kami memang beda shift. Hari minggu pagi itu dia datang ke rumah saya (asrama) dengan membawa kue brownies buatannya sendiri. Wow, amazing rasanya benar-benar beda dengan brownies buatannya saat kali pertama mencoba dulu. Sebelas dua belas deh sama cake coklat yang ada di restoran‘Secret Resipi’ itu. Sejak itu dia mulai rajin membuat brownies dan mulai bercita-cita membuka bakery di Indonesia.

Itu cerita kawan seperjuangan saya di perantauan yang kini sudah pulang kampung. (Duh jadi rindu). Kawan, tahukah kalian bahwa kisah ini bisa disebut kisah seorang otodidak. Otodidak? Apa pula itu? Kalau kata Wikipedia Indonesia sih, otodidak itu berasal dari bahasa Yunani, Audidaktos yang berarti belajar sendiri. Jadi, Otodidak (autodidak) adalah proes belajar secara mandiri dengan mencoba-coba, , mengutak-atik apa yang dipelajari tanpa melalui wadah pendidikan formal.

Banyak tokoh-tokoh besar sukses dengan cara otodidak. Diantaranya Ray Bradbury (belajar dari membaca), Arthur C Clarke (belajar dari majalah), Art Buchwald (terus kuliah meski tak punya hak dapat ijazah). Tapi tahukah kalian jika bagi saya pribadi otodidak itu tidak semudah kisah-kisah mereka. Oke saya akan cerita sedikit tentang pengalaman ini. Check this out guys...

 Memiliki tubuh berukuran imut dengan tinggi badan 150cm dan berat badan 45kg membuat saya kesulitan mencari ukuran baju yang pas untuk tubuh mungil saya ini. Apalagi untuk baju kurung (baju khas orang Malaysia) ,Dress, atau gamis, yang saya beli selalu kepanjangan dan harus dipotongkan dulu di penjahit. Kadang-kadang malah harus dikecilkan juga untuk lingkar tangan dan bahunya. Jika demikian maka akan boros karena harus permak sana-sini, maka saya memutuskan untuk membeli kain saja dan menjahitkan bajunya. Tahukah kalian setelah mencoba cara ini ternyata saya belum juga puas. Mengapa? Karena beberapa tukang jahit menjahitnya tidak profesional, jahit kasaran tidak sesuai dengan yang saya inginkan. Waktu menjahitnya juga lama, bahkan pernah saya menjahitkan baju kurung pada seorang penjahit di Melaka sampai 4 bulan tidak jadi-jadi dengan alasan sedang banyak pesanan baju menjelang lebaran. Dan setelah saya pikir-pikir ternyata menjahitkan baju sama borosnya dengan membeli baju kemudian dipermak (saya kalau membeli baju selalu kebesaran dan atau kepanjangan walaupun ukuran terkecil XS). Bayangkan harga kain 1 m saja sudah 20 ringgit, ongkos menjahitnya untuk baju kurung bisa 50 sampai 60 ringgit. Waow, sudah melebihi harga baju kurung biasa.

Dari semua pengalaman itu saya memutusan untuk membeli mesin jahit sederhana, dan mencoba belajar menjahit secara otodidak. Ternyata oh ternyata, belajar menjahit itu tidak mudah kawan. Kalau hanya sekedar menjahit (dalam arti mengoperasikan mesin jahit) saya memang bisa. Tapi, yang susah adalah menggambar pola baju yang akan dijahit. Ada rumus-rumus tertentu untuk menghitung ukuran lingkar leher, tinggi bahu,dan sebagainya yang saya belum tahu. Akhirnya jadilah mesin jahit saya itu hanya berfungsi untuk menjahit baju yang sobek, menjahit tepi rok yang saya potong sendiri (lagi-lagi karena kepanjangan).

Dari kegagalan saya belajar menjahit ini (sebenarnya belum merasa gagal sih, hanya sampai saat ini belum berhasil saja, tapi saya akan tetap mencoba belajar menjahit lagi suatu saat nanti, walaupun sekarang semangatnya agak sedikit berkurang), ada rasa penyesalan dan rindu yang mendalam. Apa hubungan belajar menjahit sama rindu ? Sebenarnya dulu saat kelas 8 SMP saya pernah mendapat pelajaran keterampilan busana, kami biasa menyingkatnya “Tabus” (Hai teman-teman SMP ku apa kalian masih ingat pelajaran ini ?) Waktu itu kami pernah diajarkan praktek membuat rok, dari pola dasar berbentuk kertas, juga cara menggambar polanya, kemudian cara menghitung ukuran-ukurannya, hingga jadilah sebuah rok panjang cantik. Aku mendapatkan nilai 80 untuk praktek ini. Hanya saja mungkin waktu itu aku hanya mengejar ‘nilai’ dan tidak memahami pelajaran dengan betul, jadi saat ini, semua cara-cara yang diajarkan Bu Ida, guru SMP ku itu menguap entah kemana. Iya, jadi rindu sama Bu Ida, semoga Ibu sehat ya. Hiks, 😭.

Kisah lain berlaku akhir-akhir ini. Tiga minggu lalu saya memutuskan untuk mengkuti ODOP (One Day One Post) sebuah kelas menulis online yang mengharuskan anggotanya posting tulisan di blog setiap hari. Awalnya aku merasa oke-oke saja karena memang dari dulu menulis adalah sebagian dari nafasku ( ceileh hiperbola banget, padahal masih suka tertidur waktu nulis, akhirnya gak jadi-jadi deh tulisannya 😁). Tapi, semakin kesini aku merasa semakin ‘berat’.

 Pertama, karena tulisanku ini kemungkinan akan dibaca oleh anggota ODOP yang lain maka aku harus menulis dengan baik dan benar dong biar gak malu-maluin. Dan disinilah rasa rindu dan penyesalan itu muncul lagi. Rindu pada guru Bahasa Indonesia ku. Bu Endah, Bu Diana, hiks rindu. Dulu aku lumayan jago bahasa Indonesia. Tapi sekarang semua ilmu itu sudah nggak betah lama-lama nempel di otak seorang pemalas seperti aku ini. Ya, sekarang kalau mau nulis cerpen atau yang lainnya, agak lama dulu mikirnya. Tentang EYD, tentang kata sapaan yang harus huruf besar, tentang penulisan kata di , nya, yang harus disambung dan dipisah. Tentang aturan-aturan penulisan kata awalan, imbuhan dan sisipan. Dan masih banyak lagi. Aku sudah banyak lupa sama ilmu-ilmu ini, Dan sedihnya ilmu-ilmu ini sangat kuperlukan untuk bisa menghasilkan tulisan yang baik. Sekarang kalau mau belajar ilmu-ilmu ini harus otodidak ditemani buku-buku kepenulisan dan Mr Google.

Kedua, karena kita harus posting tulisan di blog maka harus pandai dalam dunia perblogger-an dong. Sedangkan saat ini aku  hanya bisa nulis dan posting saja di blog. Ya, rasa rindu dan penyeslan itu akhirnya muncul kembali. Sebenarnya, aku mengenal blog sudah sejak kelas XI SMK, di sekolahku saat itu ada pelajaran KKPI ( Keterampilan Komputer dan Pengelolaan Informasi). Saat itu ada materi blog dan website. Dulu diajarkan cara mendesain blog, lay out background, mempercantik tampilan website dan lain-lain. Rindu lagi deh sama guru KKPI ku dulu, Pak Slam, Bu retno, dan Bu Lin. (hiks 😭, semoga takdir membawa mereka membaca tulisan ini ya, setidaknya agar tersampaikan rasa rindu ini pada mereka orang-orang yang telah berjasa dalam hidup).

Ya, seandainya dari dulu aku seorang pembelajar yang baik, tentu sekarang tak akan menyesal seperti ini. Kalau saja pelajaran TaBus nya bu Ida masih nempel di memory otakku, pasti sekarang aku sudah bisa jahit baju sendiri. Kalau saja waktu pelajaran Bahasa Indonesia dulu kuperhatikan dengan baik, tentu kini menulis akan lebih mudah bagiku karena sudah hafal aturan-aturan kepenulisan. Dan seandainya dulu waktu pak Slam menjelaskan pelajaran KKPI aku menghadirkan hati dan pikiranku sepenuhnya, pasti sekarang tidak akan jadi blogger amatiran yang gaptek seperti ini.

Hemh tapi dalam hidup ini kata ‘kalau saja’ dan ‘seandainya’ tidak berlaku untuk orang-orang optimis. Ya, sekarang harus hadapi kenyataan, tidak boleh lagi mengkonsumsi kata ‘seandainya’. Sekarang kalau ingin mahir dalam bidang menjahit, menulis, atau nge blog, harus berusaha otodidak ditemani Mr Google dan buku-buku panduan.

Well, sebenarnya catatan ini ditulis bukan untuk menggiring pembaca membandingkan mana yang lebih baik antara otodidak atau pendidikan formal.(Siapalah saya berani membahas topik ‘berat’ seperti itu). Tulisan ini Dibuat untuk menyemangati diri sendiri dan teman-teman yang terpaksa harus otodidak dalam bidang-bidang tertentu. Sebenarnya otodidak ini seru dan menantang, tapi tentu lebih mudah kalau ada guru nya kan? Ini pendapat saya sendiri lho, dan akan berbeda situasinya untuk masing-masing individu. Juga untuk mengingatkan adik-adik yang saat ini masih menempuh pendidikan formal agar memperhatikan baik-baik pelajaran yang sedang dipelajari. Ya, setidak berminat apa pun kalian dalam pelajaran tersebut usahakan tetap memperhatikan ketika guru menerangkan, karena semua pelajaran itu pada akhirnya akan berguna untuk memudahkan hidupmu yang akan datang. Iya, biar tidak menyesal seperti saya 😣😊


Hidup adalah tentang belajar, jika anda berhenti maka anda MATI.


#OneDayOnePost
#HariKeLimaBelas
#KeepWriting

Komentar

  1. hiks..hiks..aku otodidak.belhajar bikin blog..cara ngepost...dan mash hrs banyak belajr

    BalasHapus
  2. hiks..hiks..aku otodidak.belhajar bikin blog..cara ngepost...dan mash hrs banyak belajr

    BalasHapus
  3. Benar mbak Lisa, harus makin semangat belajar.
    Terutama belajar menulis di ODOP 😊

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)