Mengejar Cahaya (Part 3 - End)

Lanjutan Part 2.
Jiwaku diliputi dilema. Mengapa saat aku memutuskan mengikhlaskan, saat itu juga jalan untuk menemukanmu mulai sedikit terbuka? Apa aku harus putar balik ke pilihan pertama? Memperjuangkanmu?

Sebuah kemungkinan yang tak pernah terlintas di pikiranku. Aku mendapat informasi tentangmu lengkap dari Bu Prapti. Ternyata Nur adalah anak sulung bu Prapti yang sedang kuliah di sebuah PTN di kota ini. Dulu ia rutin membantu Bu Prapti di sini. Part time, kuliah sambil jadi karyawati di kantin ini. Bukan sengaja ia menghilang begitu saja. Empat bulan lalu, kali pertama aku mendengar suara lembutnya memperkenalkan diri, saat itu juga adalah hari terakhir ia bekerja disini. Sebab setelah itu ia harus KKN  ke luar kota, dan ada beberapa kegiatan sosial yang harus di urusnya di kota seberang.

Betul kata mas Rahmat, "saat kita mendekatkan diri kepada Sang Maha Pemilik Cinta, maka DIA akan membantu mendekatkan orang yang kita cinta." Ah aku sungguh kagum dengan cara kerja takdirNYA. Ku ungkapkan perasaanku pada bu Prapti, ku jelaskan semua detail kenangan kita, tentang kekagumanku pada betapa istiqomahnya kamu menjaga Dhuhamu, tentang hijab syar'i mu yang menyejukkan mataku. Tentang caramu menghindari pandanganku. Dari A sampai Z ku ceritakan pada bu Prapti.

Seminggu kemudian, kau mengirimiku surat cinta yang kau titipkan pada ibumu. Singkat saja suratmu, dan tak begitu romantis, tak seperti yang kulihat di sinetron-sinetron remaja itu. Ah tapi sungguh itu surat cinta pertama dan terakhir dalam hidupku.


Jika diibaratkan hujan, cinta sebanding dengan jutaan titik-titik air yang melesat membasahi bumi.
Tak terhingga.
Bukankah kita tak mampu menghitung tetes air hujan ?
Jika diibaratkan pelangi, cinta adalah susunan warna mejikuhibiniu, beragam namun indah.
Jika diibaratkan matahari, cinta laksana cahaya yang berperan penting dalam proses fotosintesis. 
Bermanfaat.

Tapi, seiring berjalannya waktu semua yang ku ibaratkan tadi tak sepenuhnya benar.
Karena kebenaran hanya ada pada Sang Pemilik hujan, pelangi, dan matahari.
Maka sebagai mahkluknya, sudah sepantasnya kita mengikuti jalan cinta yang telah diajarkan Sang Pemilik Cinta.

Mas Irfan yang baik, tanyakan pada hatimu, istikharahlah secukupnya.
Minggu depan KKN ku sudah berakhir, aku akan segera pulang kampung.
Jika hatimu sudah mantap, silahkan datang ke rumahku, temui ayah dan ibuku, mari kita bermusyawarah tentang mimpi-mimpi dan masa depan.

Salam ukhuwah
~Nurazida Izzaty~



Kalian pernah mengalami musim kemarau? Saat tanah-tanah tandus kering kerontang. Saat padi dan ilalang tak lagi nampak menghijau. Saat air sungai di kampung tak mengalir lancar. Lalu tiba-tiba hujan menampakkan wujudnya. Menghapus kemarau itu dengan kesejukan. Kawan, begitulah yang kurasakan setelah membaca surat ini. Ya, ada hawa dingin yang meresapi tulang-tulangku, mengalir laju mengikuti aliran darahku.

Segera kuberi tahu ayah, ibu, dan mas Rahmat. Ku susun strategi sebaik mungkin. Mempersiapkan semuanya dengan semangat dan doa-doa yang tak henti mengangkasa.

Kurasa Allah sungguh berbaik hati pada lelaki hina sepertiku. Setelah proses pertemuan pertama dengan keluargamu itu, DIA seperti memudahkan proses-proses selanjutnya. Hingga tibalah kita pada proses puncak, proses yang sama-sama kita tunggu.

"Saya terima nikahnya Nurazida Izzaty binti Hariono dengan mas kawin tersebut tunai." Pagi itu delapan desember lima belas tahun silam, ku ucapkan ijab kabul hanya dengan satu tarikan nafas, dan kau resmi menjadi istriku.

 
                                    ***

"Mengapa ayah selalu menangis saat memandangi foto pernikahan itu ? Ayah rindu ibu ya ? Naufal juga rindu ibu. Tapi Naufal tak ingin menangis. Laki-laki tak boleh menangis. Kalau kita rindu doa saja yah, sampaikan rindunya sama Allah" Naufal, putra semata wayangku mengagetkankan ku dengan kata-kata nya.

Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan kita yang ke lima belas. Dan hari ini juga sudah dua tahun lebih kau meninggalkan kami. Ah, Allah lebih menyayangimu Nur.

"Naufal anakku, ayah menangis bukan hanya karena rindu ibu, tapi juga terharu mengingat perjuangan ayah untuk mendapatkan ibumu dulu. Tentang pertemuan pertama di musholla rumah sakit itu, tentang empat bulan ibumu menghilang dan sempat membuat ayah hampir gila, tentang surat cinta istimewa itu, dan tentang kemudahan-kemudahan yang Allah beri pada setiap proses penyatuan cinta kami."

"Kau bilang tadi laki-laki tak boleh menangis. Kalimat itu tak sepenuhnya benar nak, karena menangis tak selalu menunjukkan bahwa kita lemah. Menangis bisa jadi tanda bahwa kita kuat. Ya, mengangislah pada waktu dan tempat yang tepat. Menangislah di ujung sajadahmu, pada sujud-sujud panjangmu di sepertiga malam. Menagislah di hadapanNYA."

"Naufal usiamu sudah empat belas, sudah baligh. Jadilah lelaki sejati nak. Kelak jika kau jatuh cinta pada seorang perempuan, hanya ada dua pilihan yang harus kau jalani. Perjuangkan atau ikhlaskan. Tentu ayah menyarankanmu mengambil pilihan pertama dulu. Ya perjuangakan. Kejarlah cahayamu Nak."

Akhirnya aku melihat anak lelakiku menangis memelukku. Percakapan malam itu berakhir saat adzan Isya' menggema. Kami bergegas jamaah ke masjid. Kau tahu Nur,  Malam itu dua orang lelaki yang sangat merindukanmu, khusyu' berdoa pada Sang Pencipta. Berharap suatu saat nanti, Sang Maha Pemilik langit akan menyatukan kita bertiga kembali. Di sebuah tempat indah yang dijanjikanNYA, Jannatul Firdaus.


#OneDayOnePost
#HariKeSembilan
#KeepWriting

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)