Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

10 Ide yang Terlintas di Pikiran

Hai pembaca setia Jendela Hati Deasy ? Apa kabar sahabat semua? Masih semangat kan? 😊 KMO Batch 6 sudah 2 kali pertemuan nih. Pertemuan terakhir hari Jumat 27 mei 2016 kemarin membahas tentang ide. Bang Tendi Murti menyampaikan tentang cara menggali ide, mengawinkan ide, cara mengembangkan ide, dll. Dan seperti biasa, di akhir pertemuan Bang Tendi memberi kami tugas untuk mencari 10 ide yang terlintas di pikiran kita saat ini. Okey here it is. 10 ide yang terlintas di pikiranku : 1.Cinta. 2.Kuliner. 3.Waktu. 4.Mimpi. 5.Transportasi. 6.Perpisahan. 7.Sahabat. 8.Ramadhan 9.Kampung Halaman. 10.Ulang tahun. Mau diapakan sepuluh ide itu? Apakah akan dikembangkan? Well kita tunggu saja tugas berikutnya. Salam literasi, 😊 Deasy Windayanti.

Menulis, Menyambung Nyawa.

Gambar
Image from Kitty Play Apakah kita tahu pada usia ke berapa kita akan meninggalkan dunia ini? Apakah saat sudah tua nanti? Atau ketika muda kini? Atau bahkan beberapa hari lagi? Duh saya menulis pertanyaan pembuka ini dengan hati gerimis. Betapa tidak? saya adalah jenis orang yang melankolis. Menuliskan hal-hal yang berbau kematian selalu meninggalkan rasa 'lain' di sudut hati. Ada getir-getir resah, takut, atau bahkan tidak siap. Tapi kematian adalah sesuatu yang PASTI terjadi. Siap atau tidak, Izrail akan datang jua. Hanya menunggu waktu. Sebagaimana kematian, usia kita juga ternasuk sesuatu yang misteri. Tidak ada seorang pun yang tahu berapa lama jatah hidupnya di dunia ini. Maka mempersiapkan diri adalah cara terbaik menghadapi sang maut. Setelah kita meninggal, semua hal-hal duniawi juga akan kita tinggalkan. Hanya tiga hal yang tetap ada bersama kita. Apa tiga hal tersebut? Amal jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang

Cincin Untuk Dilla (Bag 7)

Gambar
Cincin Untuk Dilla (Bag 6) dapat dibaca  di sini Akhirnya di sinilah kediaman Lastri selanjutnnya. Ruangan yang cukup sempit, meski tentu saja kontrakannya lebih sempit dari ini. Baru saja melangkah masuk, Lastri sudah disambut bau obat-obatan yang menusuk hidung. Beraneka ragam jenis manusia ada di ruangan ini. Ada nenek-nenek renta, gadis belia, hingga bocah berusia sekitar 12 tahun yang sebaya dengan anak sulungnya. Semuanya bercampur sesuai jenis kelamin masing-masing. Hanya dipisah dengan tirai kain pembatas berwarna biru muda. Tak perlu kalian bayangkan bagaimana pengapnya ruangan ini. Jika boleh memilih, semua penghuninya tentu saja tidak ada yang murni menjadikan ruangan ini sebagai pilihan utama. Tapi apa hendak dikata? Hanya ini opsi yang tersisa ketika kehidupan tidak menyediakan pilihan lain. Ya, ruang rawat inap kelas III ini adalah pilihan terakhir yang ada untuk orang-orang seperti Lastri. Orang-orang yang terdefinisi sebagai rakyat kelas ekonomi menengah ke ba

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)

Gambar
Cincin Untuk Dilla (Bag 5) dapat dibaca  di sini Sampai di puskesmas Dilla langsung dibawa masuk ke ruang Dokter. Beberapa orang perawat menghalau Herman yang tengah menggendong Dilla. "Maaf Pak, silahkan daftar dulu di sana" kata seorang perempuan muda berbaju putih-putih. Herman tak menghiraukan. Laki-laki itu sungguh tak habis pikir bagaimana sistem di Puskesmas ini sungguh 'gila'. Bukankah anak sulungnya ini sudah nampak begitu pucat? Lalu mengapa tidak ditangani dulu, malah bisa-bisanya disuruh mendaftar dan segala urusan administrasi lainnya? Benar-benar birokrasi yang tak masuk akal. Sepasang suami istri dua anak itu khusyu' memperhatikan Dokter yang tengah sibuk memeriksa Dilla. Hati mereka berdetak laju. Terlebih lagi Lastri, naluri keibuannya semakin menguat dalam saat-saat seperti ini. Refleks Herman menggenggam erat jemari istrinya. Matanya kosong menatap Haikal yang tengah tertidur di pangkuan belahan jiwanya itu. Herman sadar betapa tang

Cincin Untuk Dilla (Bag 5)

Gambar
Cincin Untuk Dilla (Bag 4) dapat dibaca di sini Lastri membuka pintu rumahnya dengan gerakan cepat. Napasnya masih terengah-engah. Namun langkahnnya tak ingin terhenti, ia sudah tak sabar hendak mengetahui kondisi kedua buah hatinya. Begitu sampai di kamar sempitnya, mata perempuan itu nampak basah. Lastri sudah tidak mampu menahan rasa haru yang mendesak nurani, saat menyaksikan pemandangan di depan matanya. Laki-laki itu... Laki-laki yang akhir-akhir ini begitu kasar kepadanya. Entah kenapa laki-laki itu tiba-tiba tampil begitu mempesona siang ini. Bukan kawan, ini bukan soal tamplan fisik. Tapi ini tentang sikap lembut pemimpin rumah tangganya itu dalam melayani anak-anaknya. Herman masih tak menyadari kehadiran sang istri di depan pintu kamar. Laki-laki itu sibuk mengompres Dilla. Tangan kirinya menempelkan sapu tangan di kening si sulung. Sedang tangan kanannya memegang botol susu yang masih menempel di mulut bungsu manisnya. Lastri benar-benar merasa seperti sedang bermimpi.

Cincin Untuk Dilla (Bag 4)

Gambar
            Cincin Untuk Dilla (Bag 3) dapat dibaca di sini Lastri dan Dilla salah besar jika menganggap Herman sudah insyaf. Laki-laki itu memutuskan pulang karena uang hasil mencopetnya sudah lenyap di meja judi. Benar-benar tidak ada gunanya suaminya di rumah ini. Hanya membuat luka di hati Lastri semakin dalam. Begitu pedih hingga kadang menyisakan tetes-tetes embun di sudut matanya. “Pak, Dilla nanti mau daftar ke SMP Negeri 1. Bapak mau ngantar Dilla kan?” Dilla menggelayut manja di pangkuan laki-laki yang sangat di hormatinya itu. Sayang, lelaki di depannya tampak begitu angkuh. Hanya tersenyum, menjawab pertanyaan Dilla dengan anggukan kosong. Tanpa suara. Hari-hari pasca pembagian rapor adalah hari yang paling menyenangkan bagi Dilla. Dua minggu lebih ia libur sekolah. Ini kesempatan yang baik untuk membantu sang ibu. Dilla sudah cukup mahir untuk urusan pekerjaan rumah. Mencuci baju, mencuci piring, membuat susu untuk adik Haikal, bahkan membantu ibu menyiapkan nasi bung

Cincin Untuk Dilla (Bag 3)

Gambar
Cincin Untuk Dilla (Bag 2) dapat dibaca  di sini Dilla termenung memandangi langit-langit kamar. Ibu dan adik Haikal sudah terlelap sejak dua jam yang lalu. Dipandangnya lekat-lekat wajah perempuan yang telah melahirkannya itu. Ada gurat lelah yang terpahat di sana. Sungguh Dilla paham betul bagaimana kondisi hati ibunya. Meski malaikat hidupnya itu tak pernah sedikit pun bercerita, Dilla telah mengerti banyak hal. Jam dinding di kamar sempit itu menunjukkan pukul 1 pagi. Suasana benar-benar senyap. Hanya menyisakan bunyi detak jarum jam yang seolah-olah seirama dengan detak jantungnya sendiri. Mata Dilla susah terpejam. Meski telah berulang kali membaca doa tidur, walaupun sudah puluhan kali menutup mata secara terpaksa, rasa kantuk itu belum datang juga. Ini sudah hari ke tiga bapak tidak pulang pasca tragedi penamparan itu. Bukan, bukan sebab menghilangnya bapak Dilla susah tidur. Melainkan sebab hari yang ditunggu-tunggunya akan tiba esok. Pembagian rapor. Momen ini s

Cincin Untuk Dilla (Bag 2)

Cincin Untuk Dilla (Bag 1) dapat dibaca  di sini Sebetulnya tuduhan Lastri dan gosip-gosip tetangga itu tak sepenuhnya benar. Herman, lelaki yang telah resmi menjadi suami Lastri sejak 13 tahun silam itu memang pernah menjalani pekerjaan haram tersebut. Tapi ini sungguh karena terpaksa. Dan itu adalah kali pertama laki-laki itu mencoba mencopet. Suasana terminal siang ini cukup padat. Penumpang bus dan angkot dari berbagai jurusan hilir mudik mencari kendaraan tujuan masing-masing. Hiruk pikuk pedagang asongan yang berteriak-teriak menjajakan dagangan menambah riuh suasana. Belum lagi suara sumbang para pengamen dan pengemis, serta beberapa wajah-wajah anak jalanan turut menambah kepadatan salah satu tempat umum ini. Pekerjaan tetap Herman adalah kernet. Pembantu sopir bus. Pada dasarnya Herman termasuk kernet yang rajin. Ia kerap membantu Bang Aji--sang sopir--memeriksa keadaan bus, mencuci bus, memberi aba-aba saat bus akan parkir, membantu penumpang memasukkan barang ke bagas

Cincin Untuk Dilla (Bag 1)

Plak! Satu tamparan mendarat di pipi wanita berambut panjang itu. Bekas memar merah menyisakan jutaan rasa pedih bagi pemilik pipi halus itu. Ah tidak! Hatinya jauh lebih pedih. Suatu bentuk kepedihan tak kasat mata yang hanya mampu dirasakannya seorang diri. Eh kata siapa? Dilla pun ikut merasakannya. Bocah kelas enam SD itu sungguh tahu betapa pedih hati sang ibu. Sebab kondisi hati ibunya hampir selalu berbanding lurus dengan hatinya. Lelaki yang baru saja menampar perempuan itu telah pergi. Menyisakan bau minuman keras yang menusuk hidung. Menambah aroma kepengapan ruangan berukuran 3x4 meter ini. Kini, hanya tersisa Dilla dan ibunya yang sesenggukan menahan tangis. Eh tunggu, ada satu mahkluk lagi penghuni ruangan sempit ini. Haikal, bayi mungil di keluarga ini. Keluarga? Apa rumah tangga yang tengah porak poranda ini masih pantas disebut keluarga? "Kenapa Bapak jahat sama kita Buk? kenapa Bapak nggak sayang sama Ibuk? Nggak sayang sama Dilla? Juga adik Haikal. Kenapa tid

Gadis Penyulam Mimpi

Di ujung kalender usang itu. Matanya khusyu' menerawang. Deret angka yang menghimpun bulan. Barisan bulan yang berputar dua belas kali. Bertaruh dengan waktu. Detik, menit, jam, hari, bulan. Menjelma tahun-tahun perjuangannya. Sang gadis memilih jarum paling tangguh. Sebab ia sadar, benang kehidupan yang akan disulamnya tidak pernah mudah. Berliku, dan penuh duri. Meski ia telah memilih kain paling halus. Sehalus nuraninya. Tetap saja jarumnya sering patah. Melukai tangan, juga hatinya. Tekadnya bagai baja. Tak mudah berpasrah. Bergegas, ia mencari jarum yang lain. Meski pada akhirnya, kehidupan tak pernah menyediakan satu pun jarum pengganti. Tak juga ia menyerah. Diperbaikinya jarum yang patah. Dengan segala yang ada. Tertatih, ia kembali menyulam. Dengan senyum seindah pualam. Wahai gadis penyulam mimpi... Tidakkah engkau merasa letih? Di antara adzan Subuh kota Melaka. Ahad, 1 Mei 2016. Deasy Windayanti. #OneDayOnePost

Aktivitas Ajaib

Gambar
Tahukah kalian ada satu aktivitas ajaib? Dengan aktivitas ini kalian bebas mau menjadi apa saja. Mau menjadi guru? Bisa! Menjadi dosen, menjadi penyanyi, pelukis, model, menjadi pengusaha kaya, jutawan, milyader, bisaaaa banget. Terus kalau menjadi ibu peri bisa gak? Tentu Bisa!!! Wah hebat sekali aktivitas itu. Aktivitas apa sih? Penasaran? aktivitas ajaib itu adalah kegiatan menulis cerita. Gak percaya? Coba saja. Kalian mau jadi dokter? Tinggal tulis saja cerita tentang ibu dokter yang cantik dan baik hati. Posisikan diri kalian jadi ibu dokter itu. Mau cantik? Deskripsikan saja bagaimana kecantikannya, keanggunanannya. Kesantunannya dalam melayani pasien. Mau jadi ibu guru? Tinggal tulis saja cerita tentang ibu guru yang lembut dan penyabar. Penuh kasih mendidik murid-muridnya. Hingga perasaan bangga yang membuncah ketika menyaksikan satu persatu muridnya telah tumbuh 'membesar'. Berproses meraih impiannya. Ibu guru penyabar tadi tersenyum tulus dari jauh melihat murid-