Cincin Untuk Dilla (Bag 6)



Cincin Untuk Dilla (Bag 5) dapat dibaca di sini

Sampai di puskesmas Dilla langsung dibawa masuk ke ruang Dokter. Beberapa orang perawat menghalau Herman yang tengah menggendong Dilla.

"Maaf Pak, silahkan daftar dulu di sana" kata seorang perempuan muda berbaju putih-putih. Herman tak menghiraukan. Laki-laki itu sungguh tak habis pikir bagaimana sistem di Puskesmas ini sungguh 'gila'. Bukankah anak sulungnya ini sudah nampak begitu pucat? Lalu mengapa tidak ditangani dulu, malah bisa-bisanya disuruh mendaftar dan segala urusan administrasi lainnya? Benar-benar birokrasi yang tak masuk akal.

Sepasang suami istri dua anak itu khusyu' memperhatikan Dokter yang tengah sibuk memeriksa Dilla. Hati mereka berdetak laju. Terlebih lagi Lastri, naluri keibuannya semakin menguat dalam saat-saat seperti ini.

Refleks Herman menggenggam erat jemari istrinya. Matanya kosong menatap Haikal yang tengah tertidur di pangkuan belahan jiwanya itu. Herman sadar betapa tangguh perempuan di hadapannya ini. Beragam cobaan hidup telah membuktikan bahwa cara berpikir istrinya ini lebih dewasa darinya. "Ya, akulah yang gagal memimpin rumah tangga ini" bisik hati laki-laki itu.

Lastri merasa darahnya mengalir lebih cepat. Seharusnya 'kesadaran suaminya' itu datang lebih awal. Sebelum hutangnya menumpuk seperti saat ini. Sebelum jiwanya porak poranda. Dan sebelum sulungnya ikut menanggung semua beban rumah tangga ini. Ah Tuhan.. apa semuanya sudah terlambat? Sakit apa Dilla sebenarnya?

Belum sempat Lastri berpikir lebih jauh. Dokter yang tadi memeriksa Dilla datang mendekat. "Pak Herman, anak Bapak positif DBD (Deman Berdarah Dengue), setelah ini saya buatkan surat rujukan ke RSUD terdekat. Dilla harus rawat inap di sana."

Bergegas. Tanpa menunggu lama Dilla segera dilarikan ke ruangan ini. Ruangan dengan pintu kaca yang otomatis terbuka menggunakan sistem pendeteksi sensor. Dengan tulisan besar di atas pintu tersebut, IGD (Instalasi Gawat Darurat).

Darurat? Mungkin demikian juga keadaan hati Lastri saat ini. Sungguh tatapan mata dan raut wajahnya tak mampu menyembunyikan definisi resah yang ada. Terlebih perempuan itu bimbang menunggu suaminya yang telah meninggalkannya lima jam lebih. Kemana laki-laki itu menghilang? Bukankah tadi ia hanya pamit pergi sebentar? "Allah..., jangan biarkan Mas herman kembali ke dunia gelapnya... kembalikan ia dalam dekapanMu Tuhan.."
Lirih ia berdoa di ujung kursi ruang tunggu IGD.


*Bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!