Cincin Untuk Dilla (Bag 2)

Cincin Untuk Dilla (Bag 1) dapat dibaca di sini

Sebetulnya tuduhan Lastri dan gosip-gosip tetangga itu tak sepenuhnya benar. Herman, lelaki yang telah resmi menjadi suami Lastri sejak 13 tahun silam itu memang pernah menjalani pekerjaan haram tersebut. Tapi ini sungguh karena terpaksa. Dan itu adalah kali pertama laki-laki itu mencoba mencopet.

Suasana terminal siang ini cukup padat. Penumpang bus dan angkot dari berbagai jurusan hilir mudik mencari kendaraan tujuan masing-masing. Hiruk pikuk pedagang asongan yang berteriak-teriak menjajakan dagangan menambah riuh suasana. Belum lagi suara sumbang para pengamen dan pengemis, serta beberapa wajah-wajah anak jalanan turut menambah kepadatan salah satu tempat umum ini.

Pekerjaan tetap Herman adalah kernet. Pembantu sopir bus. Pada dasarnya Herman termasuk kernet yang rajin. Ia kerap membantu Bang Aji--sang sopir--memeriksa keadaan bus, mencuci bus, memberi aba-aba saat bus akan parkir, membantu penumpang memasukkan barang ke bagasi, sampailah urusan membangunkan penumpang yang tertidur saat sudah sampai terminal tujuan terakhir. Namun sayang, semua sikap rajinnya itu bagai dikalahkan oleh tabiat buruknya. Berjudi, kegiatan sampah inilah faktor utama penyebab segala kehancuran hidup dan rumah tangganya. Sekaligus alasan terkuat mengapa lelaki tersebut mencopet siang itu.

Bus yang dibawa Bang Aji penuh sesak oleh penumpang. Tidak menyisakan satu pun kursi kosong. Bahkan sebagian penumpang sudah berdiri hingga ke tepi pintu. Separuh perjalanan meninggalkan terminal utama. Sebagian besar penumpang telah terlelap ke alam mimpi. Tak terkecuali ibu-ibu paruh baya yang duduk di hadapannya.

Mata Herman tak bisa beralih dari benda berwarna merah yang diletakkan di atas pangkuan ibu-ibu paruh baya itu. Dompet. Ibu ini memang terlalu abai dalam menjaga barang berharganya. Dompet merah itu resletingnya telah terbuka separuh. Memperlihatkan barisan uang kertas bergambar Soekarno Hatta berwarna merah cerah. Secerah rencana licik laki-laki itu.

Sementara matanya terus memelototi dompet itu, fikiran bapak dua anak ini melayang pada hutangnya dengan Bang Tigor, bandar judi tersohor di kampungnya. Cling! Ide busuk nan brilian menyinari otaknya. Ia pandangi sekeliling. Dengan cermat laki-laki itu berusaha memperhitungkan segala resiko serta peluang yang ada.

Ibu pemilik dompet itu tampak pulas dalam tidurnya. Sesekali dengkurannya terdengar memekakkan telinga. Setelah merasa situasi cukup kondusif, laki-laki berkulit gelap itu memulai aksinya. Dengan gerakan yang sangat halus, benar-benar perlahan ia menarik dompet merah yang ada di pangkuan ibu-ibu paruh baya tadi. "Yes berhasil!" Hatinya memekikkan teriakan kemenangan. Namun naas, ada seorang penumpang yang memperhatikan aksinya. "Copet.... copet....!!!" Teriak pemuda gagah yang duduk di tengah. Perhitungan Herman benar-benar meleset kali ini. Dewi fortuna sepertinga masih enggan hadir di kehidupannya.

Tapi Herman telah memperhitugkan resiko itu dari tadi. Itulah sebabnya mengapa ia memilih berdiri di tepi pintu. Agar jika terjadi sesuatu yang membahayakan dirinya ia bisa segera berlari dari pintu belakang bus.

Dompet merah itu kini telah berpindah ke tangan Herman. Digenggamnya erat harta barunya itu. Secepat kilat, hanya dalam hitungan detik, laki-laki itu melompat keluar bus saat para penumpang mulai menyadari tindak kriminalnya.

Beberapa penumpang mulai mengejar Herman sambil berteriak lantang dan panjang. "Copet... copet...!!!" Namun ini hanya perkara kecil bagi Herman. Suami Lastri itu dulu saat SMA pernah menyandang juara 1 lomba lari se kabupaten. Ironis sekali, seorang atlit lari yang mengaplikasikan keahliannya untuk tindak kriminal. Ah bukankah hidup ini memang penuh dengan berbagai ironi yang membingungkan? Membuat dahi berkerut hingga kepala berdenyut-denyut?

Kecepatan lari Herman memang tak akan dapat dikejar oleh para penumpang yang mulai tertinggal jauh di belakang. Apalagi laki-laki itu hafal betul daerah sekitar sini. Mudah saja baginya untuk menyusup di gang-gang kecil demi memudahkan pelariannya.

Hari itu ia berhasil. Karir perdananya menjadi pencopet telah sukses. Tapi laki-laki itu tak menyadari jika ia sekaligus kehilangan pekerjaan utamanya. Pekerjaan halalnya, kernet bus. Bukankah cepat atau lambat bang Aji pasti akan memecatnya? Hanya menunggu hitungan hari Bang Aji pasti akan mendapat kernet baru.

Ah tapi itu bukan masalah utamanya. Herman sudah terbiasa bergonta-ganti pekerjaan. Yang menjadi masalah adalah saat itu salah satu penumpang bus itu adalah tetangganya sendiri. Dari mulut seorang tetangga itulah kemudian menyebar gosip tentang profesi barunya. Gosip? Atau fakta? Ah entahlah, laki-laki itu masih sulit mencerna makna dua kata itu.

Terlepas dari sisi gelap dalam hidupnya, laki-laki itu sungguh mendamba hidup layak seperti manusia pada umumnya. Bisa membahagiakan istri dan anaknya. Dan tentu saja ingin dihormati sebagai kepala keluarga.

Maka, setelah sukses melarikan diri dari kejaran beberapa penumpang tadi, Herman memutuskan pulang. Berharap senyum istri dan kedua buah hatinya menyambut kehadiran diri dan uang yang dibawanya.

Namun harapan tinggallah harapan. Bukannya senyum yang didapat laki-laki itu. Baru saja kakinya menginjak rumah kontrakannya, istri kesayangannya itu justru menodongnya dengan berbagai pertanyaan yang mengguncang amarahnya. Kalap, laki-laki itu mengayunkan sebuah tamparan yang mendarat di pipi halus sang istri. Setelah melakukan salah satu tindak KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), laki-laki itu kabur dari rumah. Menyisakan bebagai pertanyaan dan duka yang menggantung di langit-langit kontrakan sempit itu.

*Bersambung...

Kemanakah laki-laki itu menghilang?
Bagaimana kondisi kejiwaan Dilla  jika tahu fakta ini?
Apakah Lastri akan mengambil keputusan besar dalam hidupnya? Menggugat cerai laki-laki itu? Atau tetap ingin mempertahankan rumah tangga yang tengah dihantam badai prahara ini?
Temukan jawabannya di bag 3.



#OneDayOnePost

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)