Cincin Untuk Dilla (Bag 7)




Cincin Untuk Dilla (Bag 6) dapat dibaca di sini

Akhirnya di sinilah kediaman Lastri selanjutnnya. Ruangan yang cukup sempit, meski tentu saja kontrakannya lebih sempit dari ini. Baru saja melangkah masuk, Lastri sudah disambut bau obat-obatan yang menusuk hidung. Beraneka ragam jenis manusia ada di ruangan ini. Ada nenek-nenek renta, gadis belia, hingga bocah berusia sekitar 12 tahun yang sebaya dengan anak sulungnya. Semuanya bercampur sesuai jenis kelamin masing-masing. Hanya dipisah dengan tirai kain pembatas berwarna biru muda.

Tak perlu kalian bayangkan bagaimana pengapnya ruangan ini. Jika boleh memilih, semua penghuninya tentu saja tidak ada yang murni menjadikan ruangan ini sebagai pilihan utama. Tapi apa hendak dikata? Hanya ini opsi yang tersisa ketika kehidupan tidak menyediakan pilihan lain. Ya, ruang rawat inap kelas III ini adalah pilihan terakhir yang ada untuk orang-orang seperti Lastri. Orang-orang yang terdefinisi sebagai rakyat kelas ekonomi menengah ke bawah.

Sebenarnya pagi ini cukup cerah. Setelah berhari-hari mendung membungkus langit, hari ini mentari tampak tersenyum manis di ufuk timur. Mungkin musim penghujan akan segera berakhir. Walaupun wabah penyakit akibat musim ini belum tentu cepat berakhir. Ah sayangnya cuaca cerah pagi ini tak berbanding lurus dengan suasana hati para penghuni 'PAVILYUN MAWAR' ini.

Rutinitas yang membosankan. Komunitas baru yang juga 'membosankan'. Itulah dua hal yang membuat Lastri semakin tak betah berlama-lama di sana. Betapa tidak? Setiap jam sembilan pagi, akan ada pemeriksaan Dokter untuk setiap pasien di ruangan ini. Jerit tangis dan teriakan kesakitan kerap kali mengiringi proses pemeriksaan ini. Setelah pemeriksaan berakhir, Dokter akan memberi resep, kemudian para keluarga pasien akan menebus resep tersebut di loket obat. Lastri selalu bersemangat saat proses menebus obat. Ia selalu berharap butir-butir racikan Dokter ini dapat mengembalikan senyum buah hatinya.

Jam sepuluh pagi Lastri sudah duduk mengantri di loket obat. Kalian tahu jam berapa akan sampai giliran dia mendapat obat? Jam dua siang! Sungguh, soal sistem antrian RSUD ini memang benar-benar tak bersahabat. Begitulah aktivitas sehari-harinya di sini.

Soal komunitas baru yang membosankan? Itu adalah ibu-ibu penjaga pasien satu ruangan dengan anaknya. Mereka terbiasa ngerumpi setiap bertemu. Bercerita panjang lebar hingga hari menjelang sore, bahkan ketika malam hampir tiba. Lastri sangat tak nyaman dengan kondisi ini. Dia bukanlah perempuan yang terbiasa berkumpul dan menggosip bersama ibu-ibu lainnya. Dia terbiasa dengan kata kerja keras. Memasak, mengurus Haikal, atau apa saja yang membuat waktu berjalan tak sia-sia.

Tapi kali ini tidak ada pilihan lain baginya. Hanya pasif menunggui anaknya yang belum pulih betul. Lalu, bagaimana dengan kondisi finansial keluarga ini? Ia sudah tidak sabar ingin kembali berjualan. Menyambung keberlangsungan ekonomi keluarganya. Tapi siapa yang akan menunggui Dilla di sini? "Duh Gusti Allah.. mengapa cobaan ini seakan tak habis-habis menghampiri hidup hamba?" Hatinya berbisik lirih mendoa.

Ia yang tadinya termenung memandang selang infus di tangan Dilla, kini perlahan terlelap. Rasa lelah dan kantuk sudah tak dapat ditahannya lagi.

"Ibuk... Ibuk... Cincin... Cincin..."
Dilla kembali mengigau. Tubuhnya menggigil kuat. Membuat ranjang besi ukuran sedang itu bergetar. Lastri otomatis terbangun. Oh tidak! Dilla demam tinggi lagi. Hatinya makin panik ketika punggung tangannya menyentuh kening Dilla yang bersuhu tinggi. Apa yang harus dilakukan Lastri? "Ya Allah dari mana hamba harus mendapatkan cincin untuk Dilla?" Hatinya terus bermonolog, sementara kakinya terus melaju memanggil Dokter dan perawat di ruangan sebelah.

*Bersambung...

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)