Cincin Untuk Dilla (Bag 4)


           

Cincin Untuk Dilla (Bag 3) dapat dibaca di sini

Lastri dan Dilla salah besar jika menganggap Herman sudah insyaf. Laki-laki itu memutuskan pulang karena uang hasil mencopetnya sudah lenyap di meja judi. Benar-benar tidak ada gunanya suaminya di rumah ini. Hanya membuat luka di hati Lastri semakin dalam. Begitu pedih hingga kadang menyisakan tetes-tetes embun di sudut matanya.

“Pak, Dilla nanti mau daftar ke SMP Negeri 1. Bapak mau ngantar Dilla kan?” Dilla menggelayut manja di pangkuan laki-laki yang sangat di hormatinya itu. Sayang, lelaki di depannya tampak begitu angkuh. Hanya tersenyum, menjawab pertanyaan Dilla dengan anggukan kosong. Tanpa suara.

Hari-hari pasca pembagian rapor adalah hari yang paling menyenangkan bagi Dilla. Dua minggu lebih ia libur sekolah. Ini kesempatan yang baik untuk membantu sang ibu. Dilla sudah cukup mahir untuk urusan pekerjaan rumah. Mencuci baju, mencuci piring, membuat susu untuk adik Haikal, bahkan membantu ibu menyiapkan nasi bungkus untuk dititipkan di warung Bu RT.

Selama Dilla libur, Lastri mempunyai ide untuk menambah jumlah dagangan nasi bungkusnya. Ia tidak hanya menitipkan dagangannya di warung Bu RT. Tapi juga menjualnya di pasar. Pagi-pagi sekali, sebelum adzan subuh berkumandang, Lastri sudah memulai menjemput rezekinya. Itu artinya, Dilla juga sama sibuknya dengan sang ibu. Pukul tiga pagi, ibu dan anak itu sudah harus berpisah dengan bantal dan selimut. Saling bahu-membahu di dapur, juga sambil mengurus Haikal. Setelah semuanya siap, dengan berat hati Lastri mempercayakan anak sulungnya yang baru berusia 12 tahun itu untuk, menjaga Haikal, dan mengurus rumah.

Sungguh, berat nian langkah kakinya tiap pagi. Dipeluknya erat-erat kedua permata hatinya itu. “Yaa Allah... Jika saja ada pilihan lain untuk hamba, tentu hamba tidak akan memilih jalan ini, tentu hamba tidak akan meninggalkan mereka di kontrakan sempit ini” Lastri cepat-cepat mengusap genangan air di pipinya. Ia tak ingin kedua anaknya itu melihat wajah dukanya.

Seminggu sudah aktivitas ibu dan anak itu begitu padat. Pagi-pagi buta berjualan nasi bungkus di pasar, Pukul delapan pagi Dilla harus mengantar nasi bungkus ke warung Bu RT, sore hari mengambil uang beserta nasi yang tersisa, dan ketika malam menjelang, Dilla dan sang ibu masih harus menyiapkan bahan-bahan untuk berdagang esok hari. Ketika semuanya dirasa sudah siap, barulah mereka mengistirahatkan badan. Biasanya sekitar pukul 10 malam mereka baru berkesempatan untuk berlayar ke alam mimpi. Begitulah rutinitas mereka selama seminggu ini.


Siang ini begitu terik. Sudah jam 11 am, suasana pasar tradisional ini mulai lengang. Beberapa pedagang sayur sudah mulai meningglakan area dagangnya. Hanya toko kelontong yang masih buka hingga petang nanti. Lastri memutuskan untuk pulang saja. Hasil dagangannya hari ini lumayan. Hanya sisa tiga nasi bungkus yang tidak disentuh pembeli. Selebihnya telah bertukar menjadi pundi-pundi rupiah, rezekinya hari ini.


Baru saja ia mengemasi keranjang nasi, hp butut di sakunya berdering. “Assalamualaikum...,mbak Lastri, ini Bu Ida. Mbak Lastri cepat pulang ya. Dilla demam tinggi, tubuhnya menggigil kuat. Haikal juga nangis terus.” Ucap suara tetangganya di ujung telepon. Maka tanpa berbasa-basi lagi, perempuan yang telah kuat ditempa cobaan hidup itu mempercepat langkah menuju rumah. “Ya Allah ada apa dengan Dilla? Bukankah tadi pagi saat ditinggal gadis kecil itu baik-baik saja? Sama sekali tak menunjukkan tanda-tanda kurang sehat?” Hatinya terus bermonolog sepanjang jalan. Berbagai macam dzikir dan doa tak henti dirapal ibu dua anak ini.



*Bersambung...






Komentar

  1. Mudah mudahan Dilla tidak kenapa kenapa

    BalasHapus
  2. Mudah mudahan Dilla tidak kenapa kenapa

    BalasHapus
  3. Terlalu lelah mungkin. Sudah saatnya istirahat.
    Kasihan ibunya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)