Ayah, Putri Ingin Menjadi Lebah.

Gambar ilustrasi : www.pernikdunia.blogspot.com
Bocah kelas satu SD itu mengusap peluh di dahi. Menyingkirkan anak rambut yang menutupi kelopak matanya. Nafasnya terengah-engah. Hembusan angin menerbangkan rambut panjangnya yang dikuncir dua. Mata sipit dengan pipi tembamnya sungguh menggemaskan. Membuat siapa saja yang melihat serasa ingin mencubit pipi bakpaunya.

"Ayah Putri capek, kita duduk dulu disana yuk." Laki-laki dewasa yang dipanggil ayah itu mengangguk. Digandengnya erat tangan bocah usia tujuh tahun itu. Mereka duduk berdampingan di salah satu bangku taman alun-alun kota ini. Di sekitarnya tumbuh beraneka ragam jenis bunga. "Putri disini dulu ya, ayah mau kesana." Ungkap sang ayah sambil menunjuk arah pedagang makanan yang berbaris rapi mengelilingi alun-alun.

Beberapa menit kemudian ayah datang dengan membawa kue donat kesukaan Putri. Namun ayah kebingungan mencari anak sulungnya. Kemana Putri? Ya, gadis kecil itu tidak sedang duduk di tempat tadi. Ia asyik berjalan di sekitar taman bunga. "Putri..." ayah memanggil sambil menunjukkan apa yang ia bawa. Melihat kue donat di tangan sang ayah, langsung saja gadis mungil itu berlari menghampiri. "Duduk sini dulu, kita makan ini." Putri mengangguk tanda setuju. "Sudah habis? Sampah plastiknya dibuang disana ya? Tong sampah warna merah." Tanpa menjawab gadis lincah itu langsung berlari menuju tempat sampah yang ditunjuk sang ayah.

Setelah kenyang dengan dua buah kue donat, Putri menarik-narik tangan ayah ke area permainan. Ayah menuruti saja kemauan anak gadisnya itu. Mereka tampak ceria bermain ayunan bersebelahan. "Yah Putri mau tanya. Tadi di taman bunga Putri lihat lebah banyak sekali. Terus di tempat sampah tadi ada juga hewan yang mirip lebah. Bisa terbang juga. Apa namanya? Aduh Putri lupa. Kemarin sudah diajar ibu guru di sekolah. Oh iya, lalat. Lalat itu temannya lebah yah? Mereka mirip ya. Sama-sama bisa terbang. Tapi, kenapa mereka tak pernah bersama? Yang satu di tempat yang bersih, indah-indah. Yang satu lagi selalu tak jauh-jauh dari tempat sampah." Tanya Putri dengan mata membulat. Gadis itu memang tergolong cerdas. Senang bertanya dan punya rasa ingin tahu yang tinggi.

"Putri sayang, lalat dan lebah sama-sama termasuk hewan serangga. Tapi mata lalat selalu melihat keburukan, tempat sampah, dan tempat-tempat kotor lainnya selalu menjadi tujuan favoritnya. Sedangkan mata lebah selalu melihat kebaikan dan keindahan. Hidupnya tak jauh-jauh dari taman bunga dan pohon-pohon rindang. Karena selalu mendatangi tempat-tempat kotor, lalat membawa penyakit. Sedangkan lebah menghasilkan madu."

Ayah menghentikan ayunan. Diusapnya lembut rambut anak cerdasnya ini. "Nak, jadikan mata kita seperti mata lebah. Memandang hidup ini dari sisi kebaikan, maka yang akan kita dapat tentu kebaikan juga. Jangan jadikan mata kita seperti mata lalat. Memandang hidup dari sisi keburukan, maka yang akan kita dapat tentu saja penyakit. Berpikir positif seperti si lebah, biar dapat madu dalam kehidupan ini."

"Putri paham? Sudah mulai panas nih, kita pulang yuk. Pasti ibu sudah nunggu di rumah." Ajak sang ayah sambil mulai melangkah menggandeng tangan Putri. Sebagai bocah kelas satu SD, sebenarnya Putri tak sepenuhnya memahami penjelasan sang ayah. Apa itu serangga? Berpikir positif itu berpikir yang bagaimana? Madu kehidupan? Ah apalagi itu? Hemh, orang dewasa memang membingungkan. Bukankah tadi Putri hanya bertanya apakah lebah dan lalat itu berteman? Tapi jawaban sang ayah malah jadi panjang dan rumit begini.

Putri hanya mengangguk pura-pura paham. Ya, ia sangat yakin jika laki-laki gagah di depannya ini hanya akan mengajarkan kebaikan di dalam hidup Putri. Laki-laki yang mengabdikan sisa hidupnya untuk membahagiakan dan memenuhi semua kebutuhan Putri dan kedua adik kembarnya. Sejak itu Putri selalu berusaha memenuhi nasihat sang ayah. Menjadi si mata lebah. Memandang hidup dari sisi kebaikan.

Di acara book fair siang ini, tak sengaja Putri melihat seorang ayah dan bocah kecilnya yang sedang membeli majalah anak-anak dengan gambar lebah sebagai sampul depannya. Refleks memori otaknya mengajak gadis remaja ini melayang ke peristiwa 13 tahun silam. Ya, kegiatan jalan-jalan bersama ayah itu sudah berlalu 13 tahun yang lalu. Kini usianya menginjak angka 20. Sudah menjadi salah satu mahasiswi di Universitas Negeri terbaik ibu kota. Meninggalkan kampung halaman dan orang-orang tercinta nan jauh disana.

"Putri kenapa berhenti di stand buku anak-anak? Bukankah kita mau mencari buku kumpulan hadist Riyadus Shalihin? Di sebelah sana bukan? Eh kenapa kau menangis nih Putri?" Pertanyaan Nadia membuyarkan kenangannya tentang masa kecil yang indah di kampung halaman. Cepat-cepat ia mengusap air yang telah mengalir di pipi. "Eh gak papa Nad, lihat Bapak itu jadi rindu ayah di kampung."

Bagi putri, peristiwa hari minggu pagi di alun-alun 13 tahun silam itu selalu penting dalam hidupnya. Setelah ia dewasa, mengarungi liku-liku kehidupan. Ia menjadi paham bahwa menjadi si mata lebah selalu menyenangkan dan menenangkan. Menjadi si pemikir positif selalu memberi energi semangat lebih dalam jiwanya.

Rasa rindu yang teramat dalam membuat gadis itu ingin kembali meneteskan air mata. Tapi cepat-cepat diusapnya air bening itu sebelum Nadia sempat melihat. Ya, sudah lama ia tak mencium tangan sang ayah. Sudah lama juga tak menemani ayah menghabiskan sore di teras rumah sambil menunggu tukang bakso lewat. Ah mesin waktu, mengapa cepat kali kau berputar? Meninggalkan sesuatu yang bernama kenangan. Setelah UAS (Ujian Akhir Semester)  tuntas, ia bertekad untuk pulang kampung sejenak. Melepaskan rindu pada orang-orang tercinta disana. Sambil terus melangkah menuju stand buku islami, hati kecilnya pelan berbisik "Ayah, Putri ingin menjadi lebah."


#OneDayOnePost
#HariKe-31

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)