(Bukan) Lelaki Bintang


gambar ilustrasi dari : http://news.flyyarmy.com

                                           

Pening. Aulia merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dicobanya membuka mata perlahan. Pingsan selama tujuh jam lebih membuat indera penglihatannya belum sepenuhnya pulih. Seberkas cahaya menembus retina perempuan bermata bulat tersebut. Samar-samar ia menyadari keberadaannya di ruangan serba putih ini.

“Alhamdulillah... Kau telah sadar Au” suara itu... Ah ini tidak mungkin. Hanya ada satu manusia di dunia ini yang memanggilnya Au. Keluarga, Ustadz-ustadzah di panti asuhan, atau teman-teman lainnya selalu memanggil nama belakangnya ‘Lia’ atau nama penuh ‘Aulia’. Jadi? Apakah dia ada disini?

Wanita berjilbab hitam itu berusaha mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. Astaghfirullah... Benar, suara itu memang berasal dari laki-laki di depannya ini. Orang yang mati-matian berusaha dihapus dari memori hidupnya. Lelaki yang begitu berarti baginya tujuh tahun silam.

“Jangan mendekat Hans, aku sudah bersuami” jerit Aulia. Lelaki berkemeja putih di depannya tidak menjawab. Hanya senyum dan mengangguk. Perlahan pergi tanpa suara. Lima menit kemudian dokter dan beberapa perawat memasuki kamarnya. “ Alhamdulillah.. Bu Aulia sudah sadar. Kami langsung datang begitu Pak Hans memberi tahu bahwa Ibu sudah siuman.” Ungkap dokter di depannya. “ Betul, Pak Hans lah yang cepat-cepat membawa Ibu kesini. Laki-laki itu juga telah melunasi biaya perawatan dan administrasi rumah sakit. Selama tujuh jam lebih Ibu pingsan, Pak Hans tak pernah beranjak dari ruangan ini, kecuali saat-saat waktu shalat saja”. Tambah perawat berkaca mata itu.

Aulia seperti bisa melihat sekelebat bayangan masa lalu. Tentang hadiah ulang tahunnya yang ke 17. Sebuah novel setebal 400 halaman yang berjudul ‘Lelaki Bintang’. Sebuah novel dari seseorang yang spesial di hatinya. Novel yang telah puluhan kali ia baca, dan hafal di luar kepala. Ya, Aulia begitu meyakini bahwa Hans, teman bermainnya semasa kecil hingga remaja itu adalah gambaran sosok lelaki bintang seperti di novel favoritnya. Laksana bintang, Hans memang kerap kali ditakdirkan untuk menyinari bagian gelap dalam hidup perempuan yatim piatu ini. Aulia begitu yakin jika Hans adalah jawaban dari doa-doanya. Namun, peristiwa tujuh tahun lepas telah melenyapkan semua keyakinannya. Bagai merenggut semua harapannya akan laki-laki yang namanya selalu menghiasi buku diarynya itu.

***

“Hans, menurutmu apa aku sudah pantas menikah? Teman suami ustadzah Ina mengatakan bahwa ia ingin meminangku. Dan ustadzah Ina bilang tidak ada alasan aku untuk menolak laki-laki itu. Dia baik, sholeh, dan berpenghasilan. Kecuali... ?” “ Kecuali apa Au?” tanya Hans dengan dahi berkerut. “kecuali aku sudah ada calon lain” jawab Aulia bersemangat. Ia berharap laki-laki di depannya ini segera mengungkapkan rasa yang ia tunggu-tunggu. Sungguh, jika saja saat itu Hans menyampaikan perasaannya, tanpa istikharah pun Aulia pasti lebih memilih Hans dibanding mas Aryo, suaminya saat ini. Jauh panggang dari api. Jauh keinginan dari kenyataan. Sehari setelah percakapan singkat di bawah pohon mangga itu, lelaki bintang harapannya telah lenyap bagai di telan bumi. Tanpa pamit. Hanya sebuah surat singkat tanpa alamat yang ia terima pada hari pernikahannya. 

Barakallah Au, semoga bahagia bersama lelaki bintangmu. Doakan aku sukses di perantauan dan bisa segera menyusul kalian.

Yang senantiasa mendoakanmu.
TTD
Reyhan.


Tak ada niat sedikit pun untuk membalas pesan singkat dari laki-laki pecundang di hadapannya. Pecundang? Julukan apa lagi yang pantas untuk lelaki yang tak berani mengungkapkan perasaannya?
Saat itu usianya 24 tahun. Usia yang cukup ideal untuk menggenapkan agama. Tidak ada alasan untuk menolak permintaan ustadzah Ina. Dari kecil ia diasuh dan disekolahkan ustadzah Ina hingga lulus PGMI (Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah). Sungguh besar jasa perempuan itu pada Aulia. Tidak akan mungkin ia sanggup mengecewakan orang yang sudah ia anggap sebagai ibu kandungnya sendiri.

***

“Umi... Umi... Gak papa kan?” bocah berusia lima tahun yang masih mengenakan seragma TK itu langsung berhambur memeluk Aulia. Lelaki yang tadi menggendong bocah itu tampak tersenyum lega. “Mana Hans Umi? Abi belum sempat mengucapkan terima kasih. Kalau tidak ada Hans, entah apa yang terjadi. Tadi ada demo di jalan Diponegoro, Hans kebetulan sedang menunggu angkot disana. Ia begitu kaget melihat ada wanita pingsan di antara para demonstran itu. Apalagi setelah ia tahu bahwa perempuan yang pingsan itu adalah perempuan yang pernah dicintainya. Hans langsung cepat-cepat nelpon abi” jantung Aulia seakan berhenti berdetak ketika mendengar kalimat terakhir suaminya. “ jadi.. Abi sudah tahu semuanya?” Tanya Aulia panik. “Hans itu teman abi waktu masih aktif pengajian di Kyai Jalal dulu, ia banyak bertanya tentang Umi, tentang Ain anak kita, juga banyak menjelaskan tentang masa lalu kalian di Panti Asuhan. Tenang saja, abi nggak marah kok. Masa lalumu adalah milikmu, masa depan adalah milik kita” Ungkap Aryo penuh wibawa.

Aulia sudah tidak mampu berkata-kata lagi. Butiran bening yang dari tadi di tahan di pelupuk mata akhirnya jatuh juga membasahi pipi. Dipeluknya erat suami dan anak semata wayangnya ini. Ia kini sadar, bahwa lelaki bintang dalam novel favoritnya itu adalah Mas Aryo. Lelaki yang telah mengucapkan mitsaqan Ghalidzan di depan penghulu tujuh tahun silam. Dan ia sadar hidup ini bukan novel. Ya, Aulia harus lebih realistis memandang masa depan, bukan masa lalunya.

Menikahi orang yang kamu cintai adalah sebuah kemungkinan. Tapi, mencintai orang yang kau nikahi adalah sebuah kewajiban.” Sayup-sayup suara nuraninya berbisik di antara kehangatan pelukan suami dan anak semata wayangnya.



#OneDayOnePost
#HariKe-29

Komentar

  1. Terimakasih cerpenya. Saya banget mb..

    BalasHapus
  2. Oh ... Mbk Wiwid kisahnya seperti cerpennya mbk Deasy ternyata? hehe ..
    btw Cerpennya kece abis mbk Deasy.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas Heru..hahahaha
      Maksude Kali cerita2 beginian suka saya..

      Suka baper

      Hapus
  3. Matur suwun mas Her...
    Fiksi tok iki.
    Tidak berdasar sejarah seperti cerita2 dlm tulisan kerenmu 😊

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)