Malam


Sumber gambar ilustrasi : jjgp.deviantart.com


Tes! Satu butir air bening menetes di pipi Laily. Diusapnya perlahan dengan punggung tangan. Bekas memar merah yang tersisa menandakan baru saja ada tamparan yang mendarat di sana. Pedih. Tapi hatinya jauh lebih pedih. Tak tahu kemana harus meminta pertanggung jawaban atas rasa pedih yang menimpa hidupnya.

Pukul sebelas malam. Gelap sempurna membungkus semesta. Semua teman yang seprofesi dengannya telah lelap ke alam mimpi. Wajah-wajah polos dan lelah itu tidur berbaris di gubuk bambu yang telah bolong sana-sini. Lelah? Laily sudah akrab dengan satu kata itu. Tapi rasa lelah tak juga mampu mengantarkan gadis 12 tahun ini untuk segera menutup mata. Rasa kantuk itu belum datang. Yang datang hanya rasa benci, sesal, dan sedih.

Ia buka jendela kayu di tepi sana. Wusss hawa dingin mulai menyentuh kulit hitamnya. Hembus angin membelai rambut panjangnya. Ia menatap ke depan. Gelap. Lampu kuning 5 watt hanya menyisakan remang cahaya kecil. Mendung yang pekat mulai menghiasi langit. Benar-benar Malam yang Sempurna gelap. Segelap jalan hidupnya.

"Lupakan saja keinginanmu untuk lanjut sekolah ke SMP Lail. Lebih baik fokus kerja. Nyari duit lebih banyak biar dapat jatah lebih banyak dari Bang Anto. Trus bisa kita buat beli Es krim di warung depan gang." Kalimat Pipit tadi pagi terus mendengung di telinga Laily. Ada nada tak setuju atas pendapat teman sesama anak jalanan ini. Walaupun hati kecilnya membenarkan kelogisan kalimat Pipit.

Tadi sore bang Anto benar-benar marah sama Laily. Bagaimana tidak? Ini kan hari minggu? Saat anak jalanan yang lain bisa setor dalam jumlah dua kali lipat, Laily malah tak dapat duit sepeser pun. Dari pagi sampai siang ia sibuk dengan try out nya. Sore hari malah ikut mengaji dengan anak-anak TPQ di kampung sebelah. Saat malam menjelang, ia sebenarnya sudah berusaha mati-matian. Mengamen mengelilingi keramaian kota. Tapi nasib baik sepertinya belum berpihak kepada gadis kelas enam SD ini. Tak seorang pun yang tergerak hati untuk memberi recehan pada Laily.

Sebenarnya impiannya cukup sederhana. Gadis ini hanya ingin lulus SD dengan nilai yang baik dan bisa lanjut sekolah ke SMP Negeri. Tapi tidak ada sesuatu yang sederhana dalam hidup Laily. Semuanya harus diperjuangkan. Dan kali ini ia mulai ragu atas perjuangannya. "Pipit benar, sepertinya aku harus lebih realistis. Takdirku memang di jalanan. Mengumpulkan puing-puing rupiah sebanyak mungkin agar Bang Anto senang dan memberiku jatah lebih banyak. Bisa makan enak di warung depan gang. Bisa beli boneka seperti si Lastri."

"Ah tidak!!! Aku tetap merasa nyaman disana. Ketika mendengar ibu guru menerangkan. Ketika sibuk mengerjakan tugas kelompok. Ketika melihat kumpulan buku yang berbaris rapi di perpustakaan. Disana, aku menemukan diriku yang sesungguhnya. Disana aku seperti melihat 'kesempatan yang menjanjikan'." Adu pendapat di hatinya membuat gadis kecil ini pening kepala. Ditutupnya perlahan jendela kayu yang telah lapuk itu. Tempat favoritnya untuk merenung ketika malam mulai bertandang.

***

Malam ini sungguh indah. Cahaya bintang yang berpendar di atas sana membuat langit semakin mempesona. Sinar rembulan kuning keemasan menambah syahdu suasana di tepi jendela ini. Bukan kawan, ini bukan lagi jendela kayu lapuk di gubuk bambunya dulu. Ini jendela kaca indah di rumah barunya. Tes ! Satu air bening menetes lagi di pipi Laily. Dengan sigap sepotong tangan milik laki-laki bermata embun ini mengusap air mata Laily. Laki-laki yang siap mati-matian memperjuangkan hidup Laily. Laki-laki yang tak akan membiarkan air mata Laily menetes sia-sia.

Memory masa lalu yang penuh perjuangan berputar jelas di otaknya.
Saat itu ia berhasil lulus SD dengan nilai terbaik se Kabupaten. Melihat prestasi dan semangat muridnya itu, Bu Anis, wali kelasnya berusaha membantu Laily mencari jalan keluar atas masalahnya. Akhirnya disinilah pintu peluang itu terbuka perlahan. Bu Anis mendapatkan donatur dari luar kota. Solusi yang cukup baik untuk Laily berhenti dari profesinya sebagai anak jalanan.

Hingga ia benar-benar menyadari bahwa hidup ini berputar. Matahari berotasi, bumi dan bulan berevolusi. Begitulah dengan takdir manusia. "Bahagia dan sedih itu mutlak milikNYA, kita hanya diberi kesempatan merasakannya secara bergantian" Ucap mas Fajar menenangkan hati istrinya ini.

Dulu sekali, saat ia sedih, berdiri mematung menatap langit malam. Di tepi jendela kayu gubuk tuanya, Laily selau mendengar bisikan halus dari nuraninya. "Malam yang semakin pekat pertanda Fajar akan segera muncul. Gelap yang semakin gulita, pertanda cahaya akan datang di hidupmu, Laily". Sampai sekarang ia belum tahu dari mana asal suara itu. Yang ia tahu suara itu seperti petunjuk takdirNYA. Malam dan Cahaya. Laily dan Fajar. Allah menyatukan mereka berdua untuk saling melengkapi.

Masih tetap memandang langit, Laily menggenggam erat tangan pangeran surganya itu. Sambil berbisik lirih, "Terima kasih Yaa Rabb, janjiMU dalam QS Al Insyirah ayat 5 dan 6 sungguh nyata. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan."


#OneDayOnePost
#HariKe-33

Komentar

  1. Yah...betul Mba. Sesudah kesulitan akan ada kemudahan.

    BalasHapus
  2. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

    tapi saya terkadang masih susah meyakininya
    ketika masih mengeluh bila di beri kesulitan

    BalasHapus
  3. masya Allah... keren mbak :)
    ohya.. mbak ada sedikit janggal (menurut sya) hehe.. mgkn kalimat "...Trus bisa kita buat beli Es krim di warung depan gang" bisa diubah jadi "...Trus bisa kita pake buat beli Es krim di warung depan gang"
    ^^v
    tetap berrrsemangat mbak :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)