Hati kita, Berbeda atau Bersama ?


Lahir pada bulan dan tahun yang sama, hanya selisih delapan hari membuat kita nyaris tak pernah berpisah. Dari Taman Kanak-kanak hingga SMA takdir selalu menyatukan kita dalam sebuah kebersamaan. Juga ketika mengaji di surau kampung ini. Hai, masih ingatkah kau dengan semua itu? Tidak hanya fisik kita yang dekat, rumah kita juga. Walaupun sejatinya jauh secara kasta. Rumah kita hanya berjarak beberapa langkah kaki. Sedangkan kasta kita sangat jauh. Bagai langit dan bumi. Rumahmu yang menjulang tinggi, sedang rumahku? Kerdil membumi.

Oh ya, ada satu lagi yang dekat. Hati kita. Setidaknya itu menurutku. Walaupun aku tidak pernah mendengar pengakuanmu. Tapi, bukankah gerik tubuh dan tatapan mata sudah  cukup memberi informasi dibanding sebuah pengakuan mulut? Jika dalam perlombaan menulis ada deadline, ternyata begitu juga dengan kebersamaan kita. Tuhan hanya memberi batas waktu hingga ulang tahunku yang ke 19. Melihat nilai ijazah SMA mu yang cemerlang papamu memaksamu untuk study di sebuah negara yang tak mungkin terjangkau oleh kemampuan finansialku. University of Amsterdam, ya di negeri kincir angin itulah kau melanjutkan takdirmu. Sedang aku menjalani peranku sebagai anak laki-laki tertua di keluarga tanpa ayah ini. Sejak lahir aku tak pernah melihat wujud ayahku. Dan itu tak terlalu penting , sebab ibuku, wonder woman masa kini itu sanggup mendidik sekaligus menafkahi aku dan ke empat adik perempuanku dengan baik.

Tapi, sebagai sulung di keluarga ini aku cukup peka akan keadaanku. Tidak mungkin aku memaksakan diri menemanimu di negeri antah berantah itu. Seperti aku yang selau menemanimu mengerjakan tugas kelommpok di perpustakaan kota. Atau sekadar mengerjakan PR di gubuk bambu di tengah sawah milik ibuku. Bisa sambung study di salah satu perguruan tinggi swasta kota ini saja aku sudah sangat bersyukur. Walaupun harus part time jadi petani bersama ibuku. Pekerjaan ini menyenangkan, setidaknya aku tetap dapat melihat bayanganmu di balik ilalang, atau di antara jalan setapak yang membelah sawah ini. Walaupun tentu saja, profesi ini membuat kulitku legam terbakar matahari. Menambah daftar panjang perbedaan kita. Warna kulit.

Sehari menjelang idul fitri.
Lima tahun terpisah tanpa komunikasi. Kabar kelulusan dan kepulanganmu dari Belanda telah menyebar hingga ke desa sebelah. Pagi itu kau keluar dari Grand Livina hitam. Fisikmu tidak banyak berubah, masih tetap jelita. Hatimu? Ah semoga tetap seperti dulu, ramah dan rendah hati, walaupun punya segalanya. Seperti malam takbiran tahun-tahun sebelumnya. Aku bergabung bersama remaja masjid kampung ini untuk mengkoordinasi zakat fitrah dan takbir keliling anak-anak TPQ.

Aku termenung menatap gedung tinggi yang menjulang di ujung gang. Sudah hampir jam sebelas malam. Masjid perlahan mulai sepi. Urusan zakat fitrah sudah beres. Adik-adik TPQ juga sudah pulang. Mungkin sudah terlelap. Atau masih sibuk mempersiapkan baju baru untuk hari kemenangan esok. Ah jadi bocah kecil memang selalu menyenangkan. Memandang peristiwa dengan pikiran polos dan senyum tulus. Pun demikian dengan masa kecilku, bersamamu. Hari kemenangan? Hemmh sepertinya ini saat yang tepat untuk aku memenangkan hati dari penjajahan bayangmu. Ya, ini momen yang tepat untuk menguatkan azzamku melupakanmu.

Malam semakin larut. Kuputuskan untuk pulang saja. Tak sanggup menahan semua kenangan masa kecil kita di masjid ini. Mengaji petang hari. Tadarus saat Ramadhan. Perlu perjuangan ekstra untuk menghapus semua memoar itu. Sekelebat bayangan di depan masjid bagian perempuan menahan langkah kakiku. Kugosok mata dengan punggung tangan berkali-kali. Apa aku sudah gila? Hingga melihat objek apapun selalu saja nampak bayangmu? Ataukah mataku mulai tak waras lagi? "Tsania? hidung jambu?" Tanpa bisa kutahan, refleks kalimat itu meluncur laju dari bibirku. Hidung jambu, itu panggilan spesialku untuk gadis yang telah menguasai separuh duniaku ini.

Apa benar gadis berjilbab hijau ini Tsania? Atau otakku mulai error hingga tak bisa membedakan alam mimpi dan alam nyata?

*bersambung


Ilustration by google image


#OneDayOnePost
#HariKe-26

Komentar

  1. penasaran
    saya suka cerita cerita roman begini

    BalasHapus
  2. Wah thanks apresiasinya mba Wiwid.
    Thanks jg udah berkunjung 😊

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Kadang2 alam nyata dan mimpi mmg susah dibedakan :)

    BalasHapus
  5. Awalnya liat part 2, karna belum paca part 1..layar hp yang sudah masuk k blognya mbak Deasy diusap dengan jempol ke kanan..mantaaap, mbak..lanjut baca part 2 yuk..

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)