Hati kita, berbeda atau bersama? (Part 2 - end)

Sudah baca kisah permulaannya? Baca dulu => Hati Kita Berbeda atau Bersama? (Part 1)

Okey ini kisah lanjutannya :

Mendengar panggilan itu, gadis di depanku hanya nyengir. Mematung lama.Tanpa suara. Tapi pandangannya cukup mengunci hatiku. "Hei Pria capung, masih ingat sama si hidung jambu ini? Kirain udah lupa. Secara gitu loh udah jadi petani hebat sekarang" ungkapnya disertai dengan tawa renyah. Oh... Terima kasih Tuhan, ternyata si hidung jambuku tidak berubah. Tetap supel dan ramah, meski tetap menjaga batas-batas pergaulan dengan lawan jenis. friendly and religius. Begitu otakku menyimpulkan kepribadiannya.

"Eh bantuin cari dong, sandalku hilang nih. Aduh padahal juga cuma sandal jepit pasar kampung. Tega banget lah yang ngambil ini." Dan masih tetap humoris juga. Sepuluh menit lebih aku thawaf keliling masjid. Tak juga kutemukan wujud sandal jepit itu. Langit semakin gelap dihiasi mendung. Kilat yang menyambar menandakan hujan segera mengguyur. "Bentar lagi hujan. Kamu mau pulang gak? Pakai aja nih." Ucapku sambil menyerahkan sandal gunungku. "Habis kamu gak pakai sandal?" Tanyamu heran. "Ah kaki petani kan udah terlatih nyeker tiap hari. Udah profesional di bidang pencekeran" jawabku meyakinkan. "Gak mau? Ya sudah. Sorry gak bisa menemani melanjutkan misi pencarian sandal jepit mu hidung jambu. Aku udah ngantuk mau pulang. Silahkan dilanjutkan sendiri. Hati-hati saja kalau tiba-tiba ada mahkluk lain yang menemani. Ini kan gelap, mau hujan lagi. Hi... serem.. aku pulang dulu ya.. "

"Lima tahun tak membuatmu berubah ya? Masih tetap menyebalkan. Dasar pria capung. Okey deh aku mau pulang juga, thanks petani tangguh. Pinjam dulu sandalnya. Oh ya jangan lupa besok lebaran mampir ke rumah ya. Cobain ketupat rendang buatan mama. Assalamualaikum..." belum sempat aku menjawab, tubuhmu sudah melangkah meninggalkanku. Hihi lucu sekali melihat kaki mungilmu memakai sandal gunungku yang big size itu. Ah malam itu hujan memang belum turun. Tapi hatiku sudah merasakan aroma kesejukan yang luar biasa.

Hari raya pertama. Tradisi di kampung ini tetap tak berubah. Setelah shalat Isya' kami biasa mengunjungi rumah tetangga satu-persatu. Kami biasa menyebut tradisi ini dengan nama unjung-unjung. Aku melakukannya hingga di ujung gang. Jika tahun-tahun sebelumnya aku unjung-unjung sama kawan-kawan remas (remaja masjid) kali ini aku melakukannya dengan ibu dan adik-adikku. Momen-momen seperti ini kadang membuatku sentimental. Teringat akan sesorang yang sebenarnya sudah kuanggap mati. Namun tak pernah mematikan rasa benciku padanya. Siapa lagi kalau bukan bapakku? Membahas tentang laki-laki itu selalu mengalirkan aroma kesedihan di raut wajah ibu. Sudah, kuputuskan untuk berhenti bertanya tentang sosoknya. Aku tak ingin lagi mencipta hujan di mata perempuan hebat yang telah melahirkanku ini.

Akhirnya tibalah kami pada rumah paling ujung. Rumah dengan ukuran termegah di kampung ini. Dengan gedung tinggi menjulang, dan pagar besi gagah mengelilingi. Awalnya aku ragu untuk melangkah masuk. Tapi, mengingat ini idhul fitri, hari yang baik untuk menyambung silaturrahim, kupaksa saja kaki ini melangkah. Di luar dugaan. Papa mamamu sangat baik. Sangat welcome dengan keluargaku. Jauh dari gambaranku tentang orang-orang kaya yang arogan.

Obrolan berjalan santai. Tapi tidak dengan hatiku. Seperti ada gempa bumi dahsyat di dalamnya. Berguncang. Tiap kali tak sengaja senyummu tertangkap oleh retina mataku. Kalian menganggapnya terlalu berlebihan? Tak wajar? Ah bukankah cinta selalu menyediakan ruang absurd dalam jiwa? Takdir itu, seperti sebuah pelita yang memancar di tengah kegelapan. Terang benderang menyinari harapan dan masa depanku. Rasa itu... sudah sejak lama aku ingin mengungkapkan. Tapi akal sehatku selalu mencegahnya. Bagaimana mungkin rasa ini bisa tercipta di antara perbedaan yang kian nyata? Selalu terhenti oleh logika. Tapi, bukankah logika manusia cukup terbatas. Selalu terkalahkan oleh ketetapan-NYA yang kadang tak terjangkau oleh logika kita?

Khadijah masa kini. Begitulah aku menyebut gadis penuh pesona di depanku ini. Kalian tahu kawan, malam itu Tsania mengatakan kepada kami semua (papa dan mamanya, aku, serta ibu dan keempat adikku) bahwa ia tertarik pada kepribadianku. "Aku tidak sedang bergurau pria capung. Ini serius. Bagaimana jika kita menyatukan kedua keluarga ini? Pa, ma boleh kan?" Ungkap Tsania memandang wajah kedua orang tuanya dengan tatapan manja dan penuh permohonan. Gempa bumi di hatiku semakin dahsyat. Jantungku seakan lebih cepat memompa darah. Mengalirkan sebuah rasa yang tak terdefinisi oleh bahasa manapun.

Haji Purnomo, seorang anggota DPRD yang ramah dan ahli sedekah. Kedermawanannya telah tersohor di kota ini. Tapi untuk masalah satu ini? Aku tidak yakin ia bersedia 'menyerahkan' gadis semata wayangnya ini pada pria sepertiku. Pemuda dengan masa depan yang masih samar. Tapi kawan, sungguh jangan pernah meremehkan kekuasaan-NYA. The power of doa. Begitu aku menyebut keajaiban ini. Entah bagaimana cara-NYA membolak-balikkan hati papa dan mamamu. Yang aku tahu lima bulan setelah pertemuan malam itu, kau resmi halal bagiku. Kau telah menjadi perhiasan duniaku. Seorang istri yang sholehah.
***

Hujan belum reda sepenuhnya. Rintik-rintik gerimis masih sesekali terdengar. Aroma harum tanah basah melekat pada indera penciumanku. Kuhampiri sosokmu yang berdiri di tepi jendela kamar. Memandang langit malam yang mempesona. "Tidur yuk, sudah malam nih." Ajakku lembut. "Nanti dulu sayang, belum ngantuk nih. Masih ingin menyaksikan rembulan dan bintang-gemintang disana." Ungkapmu sambil menunjuk langit. "Kau tahu apa perbedaan bintang dan bulan? Tanyamu dengan nada serius. "Kalau bulan di atas sana. Kalau bintang hatiku ada di depan mata" mendengar jawaban gombalku ini, refleks tanganmu mencubit lenganku.

"Bintang adalah benda langit yang dapat memancarkan cahayanya sendiri. Matahari termasuk salah satu bintang dalam tata surya kita. Sedangkan bulan adalah benda langit yang tidak dapat memancarkan cahayanya sendiri. Bulan hanya memantulkan cahayanya bintang." Jelasmu panjang lebar. Aku mengangguk tanda paham. "Aku rasa kisah kita seperti bulan dan bintang. Kita memang berbeda. Kadang kala aku menjadi bintang. Kau menjadi bulan. Kita tetap dapat sama-sama bersinar. Atau suatu ketika aku tak mampu memancarkan cahayaku, maka sebagai imam kau menjadi bintangku, lalu aku memantulkan sinarmu. Ya, menjadi bintang atau bulan kita tetap dapat sama-sama menyinari bumi. Membebaskan alam raya dari gelap gulita. Menjadi apapun kita, menjadi bulan atau bintang kita tetap dapat bermanfaat satu sama lain. Dan juga bermanfaat untuk lingkngan sekitar. Khoirunnas anfauhum linnas." Lanjutmu melengkapi penjelasan.

Hidung jambuku, malam itu, sebenarnya aku tak terlalu paham tentang bulan, bintang, matahari, tata surya, atau apalah itu. Yang aku tahu, kita memang ditakdirkan berbeda, untuk hidup bersama. Kugenggam erat jemari indahmu "ya, kita memang berbeda, untuk bersama sayang".

Ilustration by google image

#OneDayOnePost
#HariKe-27

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)