Cincin Untuk Dilla (Bag 1)

Plak! Satu tamparan mendarat di pipi wanita berambut panjang itu. Bekas memar merah menyisakan jutaan rasa pedih bagi pemilik pipi halus itu. Ah tidak! Hatinya jauh lebih pedih. Suatu bentuk kepedihan tak kasat mata yang hanya mampu dirasakannya seorang diri. Eh kata siapa? Dilla pun ikut merasakannya. Bocah kelas enam SD itu sungguh tahu betapa pedih hati sang ibu. Sebab kondisi hati ibunya hampir selalu berbanding lurus dengan hatinya.

Lelaki yang baru saja menampar perempuan itu telah pergi. Menyisakan bau minuman keras yang menusuk hidung. Menambah aroma kepengapan ruangan berukuran 3x4 meter ini. Kini, hanya tersisa Dilla dan ibunya yang sesenggukan menahan tangis. Eh tunggu, ada satu mahkluk lagi penghuni ruangan sempit ini. Haikal, bayi mungil di keluarga ini. Keluarga? Apa rumah tangga yang tengah porak poranda ini masih pantas disebut keluarga?

"Kenapa Bapak jahat sama kita Buk? kenapa Bapak nggak sayang sama Ibuk? Nggak sayang sama Dilla? Juga adik Haikal. Kenapa tidak seperti Bapaknya Arum? Bapaknya Riska? Bapak mereka selalu tersenyum nggak pernah marah. Juga selalu ngasih duit kalau pulang kerja." Dilla menghampiri sang ibu dengan deretan panjang pertanyaan retorik.

Lastri nama ibunya. Dua bulan lalu usianya baru genap sepertiga abad. Masih terlalu muda untuk merasakan semua getir prahara rumah tangga ini. Nikah muda tanpa persiapan finansial mungkin penyebab utamanya. Di usianya yang baru menginjak angka 19, laki-laki itu datang menawarkan berbagai janji manis. Tapi janji tinggallah janji. Mungkin kehidupan pernikahan yang indah hanya ada di negeri dongeng. Tidak pernah sudi singgah di hidup perempuan yang semakin kurus ini.

Dilla masih berdiri mematung memandangi ibunya. Menanti jawaban atas berbagai pertanyaannya tentang sosok laki-laki yang akrab dipanggilnya bapak. Tidak ada tanda-tanda sang ibu akan menjawab pertanyaannya. Perempuan muda itu bergegas melangkah ke dapur. Mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang ada. Ia tidak boleh lemah. Setumpuk pekerjaan rumah telah menunggu untuk diselesaikan.

"Bapak sayang sama kita, Nak. Mungkin Bapak hanya sakit kepala. Sudah, Ibuk mau masak. Biar kalau Bapak datang nanti sudah ada makanan. Sekalian masak nasi bungkus buat besok. Dilla tolong jaga adik Ikal ya. Kalau nangis buatkan susunya di sana. Dilla tahu cara buatnya kan? Air panasnya di sana. Susunya tiga sendok ya sayang"

Dilla hanya mengangguk tanpa suara. Bocah kecil itu merasa tidak puas dengan jawaban sang ibu. Mungkin ibunya sengaja menutup-nutupi fakta sebab tidak ingin Dilla membenci sang ayah. Tapi Dilla sudah terlalu paham untuk menyimpulkan semuanya. Usianya sudah hampir 12. Sudah cukup mengerti pedih yang menyiksa hati ibunya selama ini.

Usai shalat magrib, sang ibu sudah mulai mengiris bawang, memotong sayuran, dan menyiapkan segala perlengkapan untuk dimasak besok pagi. Ibu dua anak ini mencoba peruntungan dengan berjualan nasi bungkus yang dititipkan di warung bu RT. Setelah menyadari bahwa suaminya tak selalu pulang membawa uang, Lastri terpaksa harus memutar otak bagaimana cara agar ia mendapat penghasilan.

Perempuan itu hanya lulusan SMA. Tidak punya pengalaman kerja apapun. Bukankah setelah lulus SMA laki-laki itu langsung datang meminang? Jadi, Lastri memang tak pernah memikirkan akan kerja apa dulu. Sebab ia sudah terlalu percaya pada seribu janji indah laki-laki yang perlahan mulai dibencinya itu.

Dan satu lagi yang menghalanginya untuk mencari kerja ber jam-jam di luar rumah. Haikal, anak bungsunya itu baru berusia dua tahun. Siapalah yang akan menjaganya nanti? Dilla? Lalu kalau Dilla sekolah? Berbagai pertanyaan masih terus menggelayuti pikirannya, membuat kepalanya semakin berat. Terasa begitu pening.

Dilla sudah tak tahan menyimpan lama-lama pertanyaan ini. Bukankah tadi pagi ia mendengar sendiri ibunya menyebut satu kata yang sangat menggores hati bocah kecil itu? "Dari mana Mas mendapat duit sebanyak ini? Benarkah gosip-gosip tetangga yang mulai menyebar itu? Mas mencopet di terminal? Tolong jawab Mas." Namun bukan jawaban yang didapat oleh ibunya, melainkan sebuah tamparan dari tangan kekar bapaknya. Menyisakan rasa pedih yang menusuk sanubari bocah kelas enam SD itu.

Pertanyaan ibuk kepada bapak tadi pagi masih terus membayang di pikiran Dilla. Saat ini Dilla memang benar-benar tak berani bertanya apapun kepada sang ibu. Takut melihat air mata perempuan yang telah melahirkannya itu mengalir lagi.

Akhirnya ia memutuskan untuk menyimpan erat-erat pertanyaan itu dalam benaknya. Meski hati kecilnya meronta meminta jawaban atas satu pertanyaan penting dalam hidupnya. "Benarkah Bapak seorang pencopet?" Kalimat tanya ini terus menghantui ruang kosong di kepalanya. Membuatnya pening yang teramat, hingga bocah mungil itu tertidur pulas.

*Bersambung

Benarkah Bapak Dilla seorang pencopet?
Nantikan jawabannya di bag 2.


#OneDayOnePost.
#TantanganMenulisCerbung.




Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)