Mengejar Cahaya (Part 2)

Lanjutan Part 1
Lalu pada hari ke sepuluh hingga hari ini , hari ke empat belas. sosokmu seperti menghilang ditelan bumi. Kemanakah kamu? Siapa kamu sebenarnya?

Inginku tetap berdiri disini, menunggu hingga sosokmu datang. Tapi apalah daya, beberapa pekerjaan harian perawat telah menunggu untuk ku selesaikan. Bagiku ini bukan kehilangan biasa. Mungkinkah kita merasa kehilangan sesuatu yang belum sempat kita miliki ? Ah tidak kalian tidak perlu menjawab kalimat retorik ini, karena kalian hanya membaca, bukan merasakannya. Pikiranku kusut. Sholatku jauh dari kata khusyu'. Nur, ku pikir kau lah cahaya yang dikirim Tuhan untukku. Tapi aku sedikit ragu. Mungkinkah seberkas cahaya justru membuat hatiku makin resah? Atau sebegitu hitamkah hatiku hingga cahaya tak sudi untuk membagi sinarnya?

Jika dihitung dari hari pertama kita berjumpa, tiga bulan sudah waktu menyeret kita pada kesibukan masing-masing. Ah lagi-lagi aku terlalu percaya diri. Dari mana aku tahu kesibukanmu? Sampai saat ini rutinitas 'gila' ku masih berlangsung pada pagi hari saat jam-jam sholat Dhuha. Berdiri di tepi koridor Rumah Sakit ini, memandang lurus pintu musholla perempuan, berharap menemukan senyummu. Oh Nur, kurasa beberapa gejala sakit jiwa sudah menjangkitiku.

Ternyata kekusutan hati ini disadari oleh satu-satunya kakak kandungku, mas Rahmat. Dia cukup peka pada perubahan kondisi hatiku. "Mas lihat kamu seperti banyak masalah. Bangun lambat-lambat, sholat subuh seperti dikejar hantu, makan tak teratur, mandi pun malas-malasan. Mas seperti tidak mengenali dirimu Irfan". Begitu ungkap mas Rahmat menegurku. Aku rasa sudah saatnya aku membagi beban ini kepada orang lain. Orang yang kupercaya. Tanpa berpikir lama-lama aku bercerita detail masalahku kepada mas Rahmat.

"Dari ceritamu mas bisa tahu kalau kamu sedang dilanda virus merah jambu. Tidak ada yang salah, wajar saja. Jatuh cinta adalah fitrah dari Sang Maha Mencinta. Sebagai muslim yang baik, ketika kita jatuh cinta, dekatkanlah diri padaNYA, bukan malah menjauhiNYA seperti keadaanmu sekarang." Mas Rahmat memandangku teduh.

"Lelaki sejati tidak pernah merusak dirinya, sekarang saran mas hanya ada dua pilihan untukmu. Perjuangkan atau ikhlaskan. Tentu keduanya pilihan yang beresiko. Perjuangkan, mulai besok coba bertanya kepada orang-orang yang kemungkinan besar ada hubungan sama Nur, cleaning service di musholla perempuan, teman-teman perawatmu, dokter, apoteker, security penjaga pagar belakang Rumah Sakit, pasien di Paviliyun mawar, atau coba cari data-data pasien yang sudah sembuh, yang sudah pulang dari Rumah Sakit. Mungkin saja ia adalah salah satu dari keluarga pasien yang sudah pulang tersebut. Tanya identitas Nur selengkapnya. Usaha !!! jangan hanya berdiam diri memandang pintu musholla perempuan. Jangan jadi lelaki melankolis. Usaha !!! Percayalah, Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha kita."

"Jika perjuanganmu sudah maksimal, tapi hasilnya tetap nihil, maka saatnya mengambil pilihan ke dua. Ikhlaskan !!! Awalnya mungkin berat, tapi percayalah waktu dan kesibukan akan membantumu move on. Ikhlaskan, jika dia jodohmu kalian akan bertemu kembali dalam waktu dan suasana yang lebih syahdu. Namun, jika dia bukan jodohmu Allah telah menyiapkan pengganti yang jauh lebih baik dari nya. Ingat, lelaki sejati tak pernah merusak diri sendiri. Ia senantiasa memperbaiki diri. Coba buka QS An-Nur 26. Pahami betul-betul." Mas Rahmat memandang lurus ke arah bola mataku.

Ah beruntungnya aku ditakdirkan jadi adikmu mas. Kami hanya dua bersaudara. Mas Rahmat enam tahun lebih tua dariku. Secara fisik mungkin banyak kesamaan di antara kami. Tentang bentuk bibir, hidung atau mata sipit kita. Tapi secara kepribadian aku menyebutnya bagai bumi dengan langit. Mas Rahmat yang begitu bijak, patuh pada ayah ibu. Mas rahmat yang selalu jamaah di masjid lebih awal, aktiv ikut pengajian bapak-bapak maupun remaja masjid. Mas Rahmat yang benar-benar menjaga hati dan diri, membatasi pergaulannya. Sedangkan aku ? Ah tidak perlu kudeskripsikan lebih jauh. Kalian cukup tahu bagaimana caraku mengatasi masalah. Semua kebalikan sifat mas Rahmat ada pada diriku. Ya, ke-ba-li-kan bukan kebaikan.


Hingga proses pernikahannya dengan mbak Nisa yang membuatku berdecak kagum. Kawan, kalian jangan salah mengartikan. Aku bukan kagum pada mbak Nisa kakak iparku. Tapi aku sungguh kagum pada proses pernikahan mereka. Bagaimana mungkin dia bersedia menikah dengan orang yang belum pernah  dikenal? Hanya percaya pada sebuah biodata yang di bawa sang ustadz. Ah pernikahan macam apa ini? Apa mungkin mereka bisa saling mencinta? Bukankah cinta adalah sesuatu yang penting dalam pernikahan? Belum pernah aku menemukan cara mencinta yang aneh seperti ini.  Orang menyebutnya taaruf. Ah aku tidak tahu banyak tentang ini. Bahkan Ayah dan ibuku pun sempat ragu dengan jalan hidup yang diambil mas Rahmat. Tapi dengan penuh sopan santun ia menjelaskan pada kedua orang tuaku bahwa ini adalah cara yang betul sesuai ajaran agama kita.

Sejak itu pelan pelan aku mulai mengikuti jalan hidup mas Rahmat. Tapi kau tahu kawan jalan ini sungguh tak mudah. Begitu juga dengan nasehat-nasehat mas Rahmat tempo hari. Sungguh tak mudah diaplikasikan pada masalahku. Segala usaha untuk mencari identitas Nur telah kulakukan. Tapi, tak satu pun usahaku menunjukkan titik terang. Sholat tahajjud, hajat, & istikharah yang disarankan mas Rahmat telah rutin kulakukan. Tapi tetap saja belum ada sedikit pun tanda-tanda keberadaannya. Empat bulan sudah ia menghilang dari pandangan mataku. Tapi tidak dari pandangan hatiku. Memory otakku masih menyimpan bagaimana caranya tersenyum, suara lembutnya saat memperkenalkan diri, saat mengucap salam penutup, langkah kakinya yang tergesa menghindariku. Sungguh seperti satu paket buku memoar lengkap, otakku masih menyimpannya utuh.

Mungkin sudah saatnya aku berpikir logis. Sudah saatnya aku mengakiri kisah yang tak pernah bermula ini. Ya, ini waktu yang tepat untuk aku mengambil pilihan ke dua. Mengikhlaskan.

Langit yang hitam pekat, gelap yang begitu gulita adalah tanda fajar akan segera tiba. Peribahasa itu mungkin sesuai untuk kondisi hatiku.

Setelah empat bulan usahaku tak menampakkan hasil, pagi itu aku memutuskan menyudahi rutinitas gila ku. Pagi itu setelah sholat dhuha aku bergegas pergi ke kantin Rumah Sakit. Tidak ingin lagi aku mematung memandang pintu musholla perempuan lama-lama. Aku rasa sarapan di kantin adalah pilihan yang tepat untuk menjaga kesehatanku. Sudah lama aku abai terhadap pola makanku. Baru memasuki pintu kantin selera makanku sudah hilang. Bukan karena masakan kantin ini tak bekualitas. Tapi karena sebuah ID card special yang tergantung di dinding kantin. Ada tujuh ID card disana, semuanya milik karyawan/karyawati yang bekerja di kantin ini. Tapi aku tak merasa perlu melihat ID card yang lain. Satu ID card spesial itu seperti sebuah kunci yang dipinjamkan Tuhan untuk membuka pintu takdirku.

Empat bulan hanya melihat senyummu dalam bayangan yang ku cipta sendiri. Pagi ini, aku melihat senyummu ada dalam foto di ID card spesial itu. Di bawah foto itu tertulis nama 'Nurazida Izzati'. Ah entah kenapa aku yakin itu adalah nama lengkapmu, Nur. Apa kamu salah satu pegawai kantin ini? Aku tidak ingin berlama-lama menerka di hati. Segera ku ambil ID card itu dan berlari menuju meja kasir. Aku yakin Bu prapti penjaga kasir itu tahu informasi tentangmu.

Jiwaku diliputi dilema. Mengapa saat aku memutuskan mengikhlaskan, saat itu juga jalan untuk menemukanmu mulai sedikit terbuka? Apa aku harus putar balik ke pilihan pertama? Memperjuangkanmu?

*Bersambung...

#OneDayOnePost
#HariKeDelapan
#KeepWriting





Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)