Merawat Luka

Image from www.pixabay.com
Edit by Dea Winda


Lebih dari dua belas purnama telah berlalu. Luka ini hampir  kering. Namun sesekali masih terasa pedihnya. Bukan aku tak berusaha mengobati. Aku hanya takut. Ketika aku telah singgah ke apotik atau berbagai klinik di kota ini, ternyata aku sadar. Bahwa obat luka ini hanya kamu. Sosok yang demikian fana untuk saat ini.

Setahun lebih.

Kalender di ruang tengah ini pun telah berganti. Kalender yang di dalamnya banyak coretan tanganmu. Lingkaran-lingkaran kecil, rencana-rencana kita. Lingkaran dengan spidol cerah, dengan senyum merekah.

Entah perlu berapa purnama lagi untuk menyembuhkan luka. Entah siapa yang salah. Kamukah? Aku? Atau?

Bukan! Bukan kamu yang pergi. Tapi aku yang memintamu untuk jangan kembali. Aku hanya kecewa pada sosokmu yang terlalu pengecut. Terlalu takut mengakui segala rasa yang ada. Terlalu ragu-ragu untuk mengambil keputusan-keputusan.

Ah biar saja.
Kali ini aku ingin merawat luka. Melebur segala sesal. Sudah tak perlu lagi kesal.

Anggap saja Sang Penulis kisah belum menulis kisah kita pada episode tersebut. Episode yang paling sering kurapal dalam doa-doa di penghujung malamku. (Mungkin) dalam doamu juga kan?

(Hai, apakah kalender di rumahmu sudah berganti? Masihkah ada namaku dalam setiap lingkaran-lingkaran kecil itu?)

Ah, sudah!
Cukup!
Kali ini aku benar-benar ingin merawat luka, dengan karya.

Senantiasa menghadirkan Dia dalam setiap goresan penaku. Senantiasa mengingat-Nya ketika jemari sibuk menari di atas tuts-tuts hitam ini.

"Luka akan sembuh jika kau terus bergerak. Bukan berdiam diri."

Maka, mulai saat ini aku akan terus bergerak, berkarya, berbuat, dan menebar manfaat.

Bukan, bukan untuk melupa. Hanya untuk merawat luka...


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tugas Mind map dan Outline (Ide 1)

Masih Rajin Menulis Diary? Kenapa Tidak!

Cincin Untuk Dilla (Bag 6)